Gus Cokro ST: Melembutkan Hati

Gus Cokro ST
“Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang Rasul dari kalanganmu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaan kalian: dan dia sangat menginginkan (keselamatan dan keamanan) bagi kalian serta amat belas kasih lagi penyayang tehadap kaum mukmin.” (QS at-Taubah: 128).

Di tengah perilaku kekerasan yang melanda masyarakat kita, diwarnai upaya memaksakan kehendak, melunturnya kepedulian sosial, timbulnya kesenjangan sosial, kekerasan dalam rumah tangga, juga dendam yang diperturutkan, maka sikap lemah lembut menjadi pilihan dalam menyikapi berbagai persoalan kehidupan.

Becermin dari perilaku teladan Nabi Muhammad SAW, maka sudah selayaknya kita mengambil ibrah dan sirah nabawi dalam bersikap dan bertindak.

Setidaknya ada tiga perilaku teladan Rasul SAW yang memperlihatkan kelembutan hati, untuk mengantisipasi gejala sosial kemasyarakatan ini , yaitu sikap rela memaafkan, rendah hati (tawadhu), dan memberi tanpa pamrih. Ketiga sikap tersebut bersumber pada luasnya limpahan rasa kasih sayang beliau pada umatnya.

“Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu…” (QS Ali Imran: 159)

Rasulullah SAW memiliki sikap memaafkan bukan karena terpaksa atau karena tidak mampu membalas, tapi karena kasih sayang dan keikhlasan yang sempurna. Sikap rela memaafkan yang beliau contohkan bukan karena adanya paksaan dari orang lain, atau adanya pertimbangan keuntungan yang akan diperoleh, namun semata-mata dilakukan untuk mendapatkan ridha Allah SWT.

Menurut Imam al-Ghazali, memaafkan yang hakiki adalah bahwa seseorang itu memiliki hak untuk membalas, mengkisas, menuntut, atau menagih dari seseorang yang tertentu, tapi hak yang dimilikinya tersebut dilenyapkan atau digugurkan sendiri. Sekalipun ia berkuasa untuk mengambil haknya itu.

Sikap yang kedua adalah tawadhu bukan berarti merendahkan martabat, akan tetapi justru akan menambah ketinggian akhlak. Rasulullah SAW berpesan kepada para sahabatnya, “Rendah hati (tawadhu) itu tidak menambah seseorang melainkan ketinggian. Karena itu bertawadhulah, pasti Allah akan meninggikan derajatmu.”

Sikap yang ketiga adalah, memberi sesuatu yang kita miliki  tanpa pamrih, sebagaimana firman Allah SWT, “Dan janganlah kamu memberi dengan maksud memperoleh balasan yang lebih banyak.” (QS al-Mudatstsir: 6). 

Salah satu bentuk pemberian adalah berupa harta yang kita miliki, dalam bentuk sedekah. Bersedekah itu tidak memengaruhi harta seseorang, melainkan akan semakin menambah banyak jumlahnya. Karena itu bersedekahlah, pasti Allah akan memberikan kasih sayang-Nya pada kalian semua. (HR ad-Dailami)

Lebih jauh Rasul SAW bersabda, "Seutama-utamanya akhlak dunia dan akhirat adalah agar engkau menghubungkan tali silaturahim dengan orang yang memutuskan silaturahim denganmu, memberi sesuatu kepada orang yang menghalang-halangi pemberian padamu, serta memberi maaf kepada orang yang menganiaya dirimu." (HR Thabrani, Baihaqi, dan Ibnu Abi Ad-Dunya).

Oleh karena itu, nilai moral yang melembutkan hati sebagaimana dicontohkan Rasulullah tersebut layak dihidupkan kembali, minimal dalam kehidupan pribadi, keluarga, hubungan kerja, ataupun masyarakat sekitar kita. Wallahua'lam bish shawwab.