Gus Cokro ST |
Musibah baik yang terjadi di darat, laut, dan udara adalah sebuah sunnatullah. Selain musibah merupakan ujian atau azab. Artinya, dalam kondisi apapun seharusnya kita siap menghadapi musibah yang datang.
Andai kita siap, bila musibah terjadi di sekitar kita atau menimpa diri kita, maka insya Allah kita akan husnul khatimah. Bahkan mudah-mudahan kita digolongkan Allah SWT sebagai orang-orang yang meninggal fi sabilillah.
Dan, musibah itu tak dapat diperkirakan betapapun manusia mempersiapkan diri dan berusaha memprediksinya. Tetap saja manusia tak mampu memperkirakannya dengan akurat. Tak ada satu pun manusia yang bisa melakukannya.
Bahkan lebih banyak musibah yang datang begitu saja, tak diperkirakan sebelumnya. Misalnya ada seorang tukang becak meninggal dunia karena kejatuhan pesawat bermuatan durian dua ton.
Pesawat tersebut hendak terbang, tetapi ternyata tak bisa terbang. Akhirnya, pesawat terbang itu menimpa tukang becak.
Atau ada`satu keluarga yang rumahnya tertabrak truk. Bukan bagian depan rumahnya, melaikan bagian belakang rumahnya. Rupanya truk ini menanjak namun tak kuat. Rem tak mampu menahan beban truk, hingga truk itu menabrak rumah yang sudah dilewatinya.
Kemalangan dan keburuntungan akan datang silih berganti. Demikian pula dengan kebaikan dan keburukan datang silih berganti. Jadi, bagaimana kita menyikapinya?
Pastikan saja kita berada`di rel yang benar. Pastikan pula kita menjadi orang benar, menuntaskan semua urusan dengan manusia dan Allah SWT. Tak ada yang terabaikan, terzalimi bahkan diri kita sendiri. Tunaikan shalat malam. Berjamaah shalat shubuh dengan masyarakat kampung atau keluarga. Tunaikan pula shalat duha, puasa Senin-Kamis. Baik ada rezeki mau pun dalam kesempitan, tetap bersedakah.
Kalau kita sudah pastikan semua itu berjalan, saat musibah datang tak akan menjadi masalah. Sebaliknya, kecelakaan buat kita adalah ketika musibah datang, kita belum siap. Misalnya, pukul 14.00 sebuah musibah datang, sekonyong-konyong muncul air bah, banjir bandang.
Celakanya, mengapa kita belum shalat Zhuhur saat musibah itu datang? Padahal azan Zhuhur sudah berkumandang sejak pukul 12.00. Tetapi mengapa kita belum shalat? Ini bukan berarti orang yang sudah shalat bakal terhindar dari musibah itu.
Jadi, poinnya adalah kita, saya dan teman-teman sekalian, tidak menunda kebaikan dan menghentikan keburukan. Sebisa mungkin kita memperbanyak kebaikan. Kondisinya siap, mau mati kapan saja dan dengan cara apa saja.
Meninggal dengan tenang atau mendadak, itu urusan Allah SWT. Kita tak tahu kapan meteor jatuh dan menyebabkan musibah. Tapi, kalau kita sudah siap, dalam arti tak ada yang kita lalaikan dan sempat meminta ampunan kepada Allah SWT, kita tak akan takut dan sedih.
Andai kita siap, bila musibah terjadi di sekitar kita atau menimpa diri kita, maka insya Allah kita akan husnul khatimah. Bahkan mudah-mudahan kita digolongkan Allah SWT sebagai orang-orang yang meninggal fi sabilillah.
Dan, musibah itu tak dapat diperkirakan betapapun manusia mempersiapkan diri dan berusaha memprediksinya. Tetap saja manusia tak mampu memperkirakannya dengan akurat. Tak ada satu pun manusia yang bisa melakukannya.
Bahkan lebih banyak musibah yang datang begitu saja, tak diperkirakan sebelumnya. Misalnya ada seorang tukang becak meninggal dunia karena kejatuhan pesawat bermuatan durian dua ton.
Pesawat tersebut hendak terbang, tetapi ternyata tak bisa terbang. Akhirnya, pesawat terbang itu menimpa tukang becak.
Atau ada`satu keluarga yang rumahnya tertabrak truk. Bukan bagian depan rumahnya, melaikan bagian belakang rumahnya. Rupanya truk ini menanjak namun tak kuat. Rem tak mampu menahan beban truk, hingga truk itu menabrak rumah yang sudah dilewatinya.
Kemalangan dan keburuntungan akan datang silih berganti. Demikian pula dengan kebaikan dan keburukan datang silih berganti. Jadi, bagaimana kita menyikapinya?
Pastikan saja kita berada`di rel yang benar. Pastikan pula kita menjadi orang benar, menuntaskan semua urusan dengan manusia dan Allah SWT. Tak ada yang terabaikan, terzalimi bahkan diri kita sendiri. Tunaikan shalat malam. Berjamaah shalat shubuh dengan masyarakat kampung atau keluarga. Tunaikan pula shalat duha, puasa Senin-Kamis. Baik ada rezeki mau pun dalam kesempitan, tetap bersedakah.
Kalau kita sudah pastikan semua itu berjalan, saat musibah datang tak akan menjadi masalah. Sebaliknya, kecelakaan buat kita adalah ketika musibah datang, kita belum siap. Misalnya, pukul 14.00 sebuah musibah datang, sekonyong-konyong muncul air bah, banjir bandang.
Celakanya, mengapa kita belum shalat Zhuhur saat musibah itu datang? Padahal azan Zhuhur sudah berkumandang sejak pukul 12.00. Tetapi mengapa kita belum shalat? Ini bukan berarti orang yang sudah shalat bakal terhindar dari musibah itu.
Jadi, poinnya adalah kita, saya dan teman-teman sekalian, tidak menunda kebaikan dan menghentikan keburukan. Sebisa mungkin kita memperbanyak kebaikan. Kondisinya siap, mau mati kapan saja dan dengan cara apa saja.
Meninggal dengan tenang atau mendadak, itu urusan Allah SWT. Kita tak tahu kapan meteor jatuh dan menyebabkan musibah. Tapi, kalau kita sudah siap, dalam arti tak ada yang kita lalaikan dan sempat meminta ampunan kepada Allah SWT, kita tak akan takut dan sedih.