Gus Cokro ST: Melembutkan Hati

Gus Cokro ST
“Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang Rasul dari kalanganmu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaan kalian: dan dia sangat menginginkan (keselamatan dan keamanan) bagi kalian serta amat belas kasih lagi penyayang tehadap kaum mukmin.” (QS at-Taubah: 128).

Di tengah perilaku kekerasan yang melanda masyarakat kita, diwarnai upaya memaksakan kehendak, melunturnya kepedulian sosial, timbulnya kesenjangan sosial, kekerasan dalam rumah tangga, juga dendam yang diperturutkan, maka sikap lemah lembut menjadi pilihan dalam menyikapi berbagai persoalan kehidupan.

Becermin dari perilaku teladan Nabi Muhammad SAW, maka sudah selayaknya kita mengambil ibrah dan sirah nabawi dalam bersikap dan bertindak.

Setidaknya ada tiga perilaku teladan Rasul SAW yang memperlihatkan kelembutan hati, untuk mengantisipasi gejala sosial kemasyarakatan ini , yaitu sikap rela memaafkan, rendah hati (tawadhu), dan memberi tanpa pamrih. Ketiga sikap tersebut bersumber pada luasnya limpahan rasa kasih sayang beliau pada umatnya.

“Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu…” (QS Ali Imran: 159)

Rasulullah SAW memiliki sikap memaafkan bukan karena terpaksa atau karena tidak mampu membalas, tapi karena kasih sayang dan keikhlasan yang sempurna. Sikap rela memaafkan yang beliau contohkan bukan karena adanya paksaan dari orang lain, atau adanya pertimbangan keuntungan yang akan diperoleh, namun semata-mata dilakukan untuk mendapatkan ridha Allah SWT.

Menurut Imam al-Ghazali, memaafkan yang hakiki adalah bahwa seseorang itu memiliki hak untuk membalas, mengkisas, menuntut, atau menagih dari seseorang yang tertentu, tapi hak yang dimilikinya tersebut dilenyapkan atau digugurkan sendiri. Sekalipun ia berkuasa untuk mengambil haknya itu.

Sikap yang kedua adalah tawadhu bukan berarti merendahkan martabat, akan tetapi justru akan menambah ketinggian akhlak. Rasulullah SAW berpesan kepada para sahabatnya, “Rendah hati (tawadhu) itu tidak menambah seseorang melainkan ketinggian. Karena itu bertawadhulah, pasti Allah akan meninggikan derajatmu.”

Sikap yang ketiga adalah, memberi sesuatu yang kita miliki  tanpa pamrih, sebagaimana firman Allah SWT, “Dan janganlah kamu memberi dengan maksud memperoleh balasan yang lebih banyak.” (QS al-Mudatstsir: 6). 

Salah satu bentuk pemberian adalah berupa harta yang kita miliki, dalam bentuk sedekah. Bersedekah itu tidak memengaruhi harta seseorang, melainkan akan semakin menambah banyak jumlahnya. Karena itu bersedekahlah, pasti Allah akan memberikan kasih sayang-Nya pada kalian semua. (HR ad-Dailami)

Lebih jauh Rasul SAW bersabda, "Seutama-utamanya akhlak dunia dan akhirat adalah agar engkau menghubungkan tali silaturahim dengan orang yang memutuskan silaturahim denganmu, memberi sesuatu kepada orang yang menghalang-halangi pemberian padamu, serta memberi maaf kepada orang yang menganiaya dirimu." (HR Thabrani, Baihaqi, dan Ibnu Abi Ad-Dunya).

Oleh karena itu, nilai moral yang melembutkan hati sebagaimana dicontohkan Rasulullah tersebut layak dihidupkan kembali, minimal dalam kehidupan pribadi, keluarga, hubungan kerja, ataupun masyarakat sekitar kita. Wallahua'lam bish shawwab.


Gus Cokro ST: The Younger Generation

Gus Cokro ST & PN Sapujagad
Masa muda adalah masa yang sangat menyenangkan, masa yang penuh dengan kebahagiaan, kenangan-kenangan indah terukir pada saat muda.
Sehingga banyak generasi muda kita memanfaatkan hal itu dengan banyak kegiatan yang amoral yang penting menurut mereka happy, tidak peduli apa pendapat orang lain.

Banyak juga generasi muda yang memanfaatkan masa mudanya dengan aktifitas bermanfaat, seperti menghadiri pengajian (ta’lim) atau halaqah, memperingati hari besar Islam, menyantuni yatim piatu, membantu orang yang terkena bencana dan lain sebagainya.

Hal tersebut pantas dilakukan para generasi muda kita saat ini , mengingat banyak sekali masalah yang harus ditangani anak-anak muda negri ini.
Ketimbang melakukan dugem, merayakan hari kasih sayang (valentine), pesta, nongkrong-nongkrong di pinggir jalan, dan lain sebagainya yang menjurus kepada perbuatan maksiat.

Fenomena kehidupan metropolitan yang konsumerisme saat ini sudah masuk ke desa-desa, banyak sekali anak-anak muda di desa yang kehidupannya mirip dengan anak-anak muda kota.

Realita ini membuat hati miris, karena masa muda seharusnya diisi dengan hal-hal yang positif seperti mengikuti proses belajar mengajar dengan baik di sekolah, mengadakan penelitian, mempersiapkan diri dengan keterampilan (skill)  dan lain sebagainya.

Bukan dengan hal-hal yang negatif apalagi yang menjurus kepada kemaksiatan. Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang meniti jalan untuk menuntut ilmu, Allah akan memudahkan baginya jalan ke syurga.“  (H.R. Imam Muslim).

Bahkan, Imam Syafe’i memanfaatkan masa mudanya dengan banyak menghafal Alquran, beliau adalah orang yang cerdas, kuat hafalannya dan ilmunya banyak.

Suatu hari dia merasa susah sekali menghafal, lalu mengadu kepada gurunya. Gurunya pun menasehatinya, ''Tinggalkan maksiat, karena ilmu itu cahaya Allah dan cahaya Allah tidak akan bisa bertahan dalam diri orang yang maksiat.''
 
Apa yang dialami Imam Syafe’i ini,  pasti dialami juga anak-anak muda lainnya. Generasi muda seharusnya mengisi masa mudanya dengan hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya di masa yang akan datang, mengingat masa yang akan datang adalah tanggung jawab para generasi muda saat ini.

Walaupun seseorang masih muda, tapi ia berilmu tinggi, ia patut dipandang sebagai seorang yang besar. Sebaliknya, bila orang sudah tua tapi ia tidak memiliki ilmu , maka ia dapat dipanggil sebagai orang kecil.

Generasi muda saat ini adalah pemimpin di masa yang akan datang, akan dibawa kemana negri ini di masa yang akan datang? Tergantung generasi muda saat ini.

Sudah seharusnya, generasi muda Indonesia memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya, melakukan hal-hal positif, mempersiapkan diri menjadi pemimpin di masa yang akan datang, agar negara kita lebih baik dan lebih maju. Allahu a'lam bish shawab.
 
 

Gus Cokro ST: Monggo 'Nyebut' dalam Setiap Langkah

Gus Cokro ST
Salah satu hadis sahih masyhur di kalangan ulama penulis kitab yang selalu menjadi pembuka tulisannya adalah hadis berbunyi  “kullu amrin dzii baalin laa yubdau bi bismillah fahua abtar au aqtha”, Segala urusan penting yang tidak diawali bismillah tidak atau kurang keberkahannya.

Mungkin inilah salah satu rahasia utamanya, di samping yang lainnya, kitab-kitab klasik karya para ulama salafus salih walaupun ditulis ratusan tahun yang lalu, tetap dianggap aktual dan menarik untuk dipelajari.

Kitab fikih Al Um sebagai salah satu contoh karya Imam Syafi"i (wafat 204 H) yang sudah berusia kurang lebih 1.200 tahun tetap dijadikan salah satu rujukan utama dalam menjawab berbagai persoalan fiqhiyyah masa kini.

Di samping itu, memang kitab-kitab fikih klasik tersebut pantas dijadikan rujukan karena isinya sangat prospektif, melampaui zaman dan waktu ketika buku tersebut ditulis. 

Menyertakan asma Allah, bagi kaum Muslimin merupakan suatu keniscayaan sekaligus kebutuhan. Baik pada pekerjaan rutin dan personal, seperti makan, minum, berpakaian, tidur, bangun tidur, terlebih lagi pada kegiatan yang diharapkan memiliki makna strategis untuk kepentingan bersama dalam skala lebih luas.

Seperti tersebut di atas, menulis buku dan karya ilmiah. Selain itu, memimpin rapat untuk membahas dan membicarakan masalah pendidikan, sosial ekonomi, budaya, dan politik yang berkaitan dengan kepentingan bersama.

Apalagi para pejabat publik, seperti pejabat eksekutif, anggota legislatif, maupun yudikatif yang keputusannya berkaitan dengan nasib seseorang atau suatu bangsa, tentu menyertakan asma Allah pada setiap kata yang diucapkannya atau setiap ketukan palunya merupakan sesuatu hal yang sangat penting, strategis, dan menentukan.

Ada beberapa hal strategis dan fundamental mengapa kita sangat dianjurkan menyertakan asma Allah pada setiap kegiatan yang dilakukan. 

Pertama, memotivasi sekaligus mendorong agar perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan baik dan benar, tidak melanggar ketentuan-Nya, tidak mengharamkan yang halal, atau sebaliknya.

Menyertakan asma Allah bukanlah sekadar formalitas supaya kelihatan nuansa religiusnya, tetapi lebih substansial agar semua perilaku kita merupakan refleksi dan manifestasi dari keimanan kita kepada Allah SWT.

Dengan menyertakan asma Allah, seperti mengucapkan bismillah, sesungguhnya kita sedang menarik kegiatan yang kita lakukan pada nilai-nilai tauhid sekaligus menghilangkan sekularisasi dan dikotomi antara agama dan bukan agama, antara dunia dan akhirat.

Kedua-duanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Semuanya harus benar, baik, dan sesuai dengan ketentuan-Nya, serta semuanya akan dipertanggungjawabkan dihadapan-Nya (QS az-Zalzalah [99] : 8).

Kedua, menggambarkan doa agar Allah menguatkan niat dan motivasi kita sekaligus memudahkan segala urusan. Basmalah, hamdalah, insya Allah, atau kalimat lainnya menggambarkan kerendahan hati bahwa manusia boleh merencanakan, tetapi Allah yang menentukan.

Sehingga, ketika berhasil dan hasilnya sesuai dengan harapan, tidak akan melahirkan kesombongan. Apabila belum berhasil, tidak akan menyebabkan frustrasi atau putus asa. Dan, inilah makna hakiki dari tawakal kepada Allah. Wallaahu"alam bish shawab.


Gus Cokro ST: Kenapa Harus Sombong?

Gus Cokro ST
Manusia diciptakan oleh Allah SWT adalah sebagai khalifah fil ardh. Artinya manusia diberi kewenangan untuk mengatur dan memanfaatkan segala yang ada di bumi guna memenuhi kebutuhannya dengan syarat tetap taat dan patuh kepada aturan Allah SWT.

Karena sebagai khalifah, maka segala segala yang ada di muka bumi adalah hanya titipan dari Dzat yang Maha Memiliki, yakni Allah Azza Wajalla. Oleh karena itu, tidak sepantasnya kita sebagai hamba bersikap sombong atau takabur.

Karena sifat ini hanya dimiliki oleh Allah dan manusia dilarang untuk membanggakan dirinya. Sebagaimana Allah berfirman,  “Janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS Luqman: 18).

Rasulullah SAW pun dengan tegas melarang umatnya agar menjauhi sifat ini. Dalam suatu riwayat Rasulullah bersabda, “Maukah kuberitahukan kepada kalian siapakah penghuni neraka itu? Yaitu setiap orang yang berperilaku bengis, kasar, dan menyombongkan diri.”  (HR Bukhari-Muslim)

Banyak dari manusia yang tidak tahu bahwa setan sedang berusaha dengan sekuat tenaga untuk menggelincirkan manusia dari jalan Allah. Mereka menggunakan tipu daya yang seindah mungkin untuk mengajak manusia berada dalam barisannya.

Manusia yang memiliki iman dan tetap berpegang teguh kepada perintah Allah dan sunah Rasulullah akan mampu menghancurkan siasat dan bujukan setan tersebut. Dan manusia yang jauh dari Allah dan sunah rasulnya yang akan terpengaruhi oleh mereka.

Hal yang dilakukan syetan salah satunya adalah menanamkan sifat sombong dalam diri manusia, bahwa manusia adalah makhluk yang sempurna yang memiliki akal dan keutamaan dari pada makhluk lain. Selain itu, hasil yang didapat adalah dari kerja keras sendiri tanpa ada campur tangan Allah SWT. Na’udzubillah.

Balasan Allah SWT kepada orang-orang yang demikian adalah siksa yang pedih di akhirat nanti. Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tiga golongan yang kelak Allah tidak akan berbicara kepada mereka, tidak akan membersihkan mereka (dari dosa), dan tidak akan melihat mereka (dengan pandangan rahmat), sedang mereka akan memperoleh siksa yang amat pedih, yakni laki-laki yang berzina, pemimpin yang berdusta, dan orang miskin yang sombong.”

Oleh karena itu, wahai saudaraku marilah kita jauhi sifat sombong dan ujub agar kita senantiasa mendapat rahmat dan maghfirah dari Allah SWT serta tergolong dalam barisan umat Rasulullah SAW, dan mendapat syafaat Beliau kelak di akhir zaman. Yaitu dengan senantiasa tetap membentengi diri kita dengan tali agama Allah dan sunah Rasulullah. Wallahua’lam.

Gus Cokro ST: Say No To Valentine’s Day

Gus Cokro ST
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”. (QS. Al-Isra’ : 36)

Setiap kali tanggal 14 Februari tiba, muncul kegalauan dalam hati, khususnya orang tua yang saat ini mendapat titipan anak yang sedang tumbuh remaja. Momentum ini diperingati dunia sebagai  Valentine’s Day (hari kasih sayang).

Tak terbantahkan, ada skenario besar untuk meruntuhkan moralitas anak bangsa calon pemimpin masa depan kita. Momen ini telah menjadi ajang maksiat yang terorganisir dan vulgar dengan dan untuk alasan cinta dan kasih sayang.

Anak-anak baru gede (ABG) dari berbagai lapisan berkumpul dengan lawan jenis tanpa peduli norma, etika dan agama. Ironisnya, para pemimpin formal dan non formal, seakan tak berkutik mencegah atau malah membiarkannya.

Faktanya, setiap Valentine’s Day usai, banyak kondom berserakan di tempat rekreasi karena hubungan seks bebas (zina massal), minuman keras dan narkotika yang meruntuhkan tatanan nilai masyarakat yang beradab.

Republika (10/02/2014) memuat pernyataan HTI yang mensinyalir sebuah penelitian di Surabaya bahwa 20 persen remaja yang hamil di luar nikah terjadi setelah perayaan yang menjerumuskan ini.

Sejatinya, cinta dan kasih sayang adalah karunia yang sangat berharga dari Allah SWT untuk hambanya. Ia titipkan cinta dan kasih sayang itu pada setiap insan agar saling mencintai dan menyayangi dalam membangun kehidupan.

Sungguh, kecintaan (hubbus-syahawat) kepada wanita (juga sebaliknya) adalah anugerah yang dihembuskan sejak manusia dilahirkan (QS.3:14).

Namun, agar cinta dan kasih sayang tidak ternoda dan salah kaprah, maka Allah SWT menurunkan agama. Kecintaan pada lawan jenis tersebut dapat tersalurkan di jalan, tempat dan cara yang benar yakni melalui pintu pernikahan.
 
Jika ditelusuri, Valentine  berarti Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuat dan Maha Kuasa. Kata ini ditujukan kepada Nimroe dan Lupercus, tuhan orang Romawi dahulu.

Jadi, ketika kita meminta orang menjadi to be my Valentine, berarti kita memintanya menjadi Sang Maha Kuasa terhadap diri kita.
Di sinilah muncul problem akidah, yakni kemusyrikan. Karena menjadikan sesuatu sebagai Ilah (tuhan) bertentangan dengan Tauhid. (QS. 112:1-4).

Perayaan Valentine’s day sendiri berasal dari perayaan ritual Lupercalia yang merupakan rangkaian upacara penyucian di masa Romawi Kuno (13-18 Februari). Pada hari ini, para pemuda mengundi nama-nama gadis di dalam kotak.

Lalu setiap pemuda mengambil nama secara acak dan nama gadis yang keluar harus menjadi pasangannya selama setahun untuk bersenang-senang. 

Ketika Kristen Katolik masuk Roma, mereka mengadopsi upacara ini dan mewarnainya dengan nuansa Kristen Katolik dengan menganti nama gadis-gadis tersebut dengan nama Paus atau Pastor. Pendukungnya adalah Kaisar Constantine dan Paus Gregory I.
Untuk lebih mendekatkan lagi pada ajaran Kristen, maka Paus Glasius I  menjadikan upacara Romawi Kuno ini menjadi Hari Perayaan Gereja dengan nama Saint Valentine’s Day untuk menghormati Santo Valentine yang mati pada tanggal 14 Februari.
Jelaslah sudah, setiap perayaan apapun yang berkaitan dengan Valentine’s Day, merupakan bentuk pengakuan ritual agama Romawi dan kristiani (Katolik). 

Kasih sayang adalah nama Allah SWT. yakni Ar-Rahman dan Ar-Rahim yang mesti menjadi penghias pribadi Muslim setiap saat, kapan dan di mana pun.

Sementara, Valentine’s Day, tidak bisa dilepaskan dari ritual agama Romawi dan Kristiani yang dikemas menjadi kegiatan biasa dan untuk semua orang. Bahkan dijadikan justifikasi untuk menghalalkan kemaksiatan kolektif yang merusak akidah dan akhlak. 

Valentine’s Day adalah wujud kejahiliyahan modern yang boleh jadi lebih buruk dari jahiliyah pra Islam yang lokal dan konvensional.
Kejahiliyahan modern, menurut Muhammad Qutub dalam buku Jahiliyah Abad 20, adalah kerusakan moral yang dibingkai secara sistematis dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan mengabaikan nilai-nilai ketuhanan. 

Bagi seorang Muslim, meniru budaya yang bertentangan dengan Islam, adalah menodai Islam itu sendiri. Mengikuti suatu budaya berarti sama saja dengan mereka.
Nabi SAW. merngingatkankan hal ini jauh hari : ”Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari golongan mereka.” (HR. Abu Daud dari Ibnu Umar).

Memang, serangan bertubi-tubi dan sistematis untuk merusak akidah dan akhlak generasi muda Islam sedemikian gencar dan sistematis.
Buku Paket SD yang berisi gambar porno.  Murid SMP di Jakarta melakukan mesum dan direkam oleh temannya.
Sementara VCD dan situs-situs porno  begitu mudah didapat dan diakses. Narkoba merajalela dan tindak kriminal (tawuran pelajar) masih terjadi.
Penanggung jawab utama  pendidikan anak adalah orang tua dan guru di Sekolah, juga tokoh masyarakat dan Pemerintah.

Saya ajak adik-adik remaja Islam di seluruh dunia, untuk menolak dan katakan : “Say No To Valentine’s Day”. Insya Allah kita bisa ! Amin. Allahu a’lam bish-shawab. 


Gus Cokro ST: Kelembutan Hati

Gus Cokro ST
“Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang Rasul dari kalanganmu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaan kalian: dan dia sangat menginginkan (keselamatan dan keamanan) bagi kalian serta amat belas kasih lagi penyayang tehadap kaum mukmin.” (QS at-Taubah: 128).

Di tengah perilaku kekerasan yang melanda masyarakat kita, diwarnai upaya memaksakan kehendak, melunturnya kepedulian sosial, timbulnya kesenjangan sosial, kekerasan dalam rumah tangga, juga dendam yang diperturutkan, maka sikap lemah lembut menjadi pilihan dalam menyikapi berbagai persoalan kehidupan.

Becermin dari perilaku teladan Nabi Muhammad SAW, maka sudah selayaknya kita mengambil ibrah dan sirah nabawi dalam bersikap dan bertindak.

Setidaknya ada tiga perilaku teladan Rasul SAW yang memperlihatkan kelembutan hati, untuk mengantisipasi gejala sosial kemasyarakatan ini , yaitu sikap rela memaafkan, rendah hati (tawadhu), dan memberi tanpa pamrih. Ketiga sikap tersebut bersumber pada luasnya limpahan rasa kasih sayang beliau pada umatnya.

“Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu…” (QS Ali Imran: 159)

Rasulullah SAW memiliki sikap memaafkan bukan karena terpaksa atau karena tidak mampu membalas, tapi karena kasih sayang dan keikhlasan yang sempurna. Sikap rela memaafkan yang beliau contohkan bukan karena adanya paksaan dari orang lain, atau adanya pertimbangan keuntungan yang akan diperoleh, namun semata-mata dilakukan untuk mendapatkan ridha Allah SWT.

Menurut Imam al-Ghazali, memaafkan yang hakiki adalah bahwa seseorang itu memiliki hak untuk membalas, mengkisas, menuntut, atau menagih dari seseorang yang tertentu, tapi hak yang dimilikinya tersebut dilenyapkan atau digugurkan sendiri. Sekalipun ia berkuasa untuk mengambil haknya itu.

Sikap yang kedua adalah tawadhu bukan berarti merendahkan martabat, akan tetapi justru akan menambah ketinggian akhlak. Rasulullah SAW berpesan kepada para sahabatnya, “Rendah hati (tawadhu) itu tidak menambah seseorang melainkan ketinggian. Karena itu bertawadhulah, pasti Allah akan meninggikan derajatmu.”

Sikap yang ketiga adalah, memberi sesuatu yang kita miliki  tanpa pamrih, sebagaimana firman Allah SWT, “Dan janganlah kamu memberi dengan maksud memperoleh balasan yang lebih banyak.” (QS al-Mudatstsir: 6). 

Salah satu bentuk pemberian adalah berupa harta yang kita miliki, dalam bentuk sedekah. Bersedekah itu tidak memengaruhi harta seseorang, melainkan akan semakin menambah banyak jumlahnya. Karena itu bersedekahlah, pasti Allah akan memberikan kasih sayang-Nya pada kalian semua. (HR ad-Dailami)

Lebih jauh Rasul SAW bersabda, "Seutama-utamanya akhlak dunia dan akhirat adalah agar engkau menghubungkan tali silaturahim dengan orang yang memutuskan silaturahim denganmu, memberi sesuatu kepada orang yang menghalang-halangi pemberian padamu, serta memberi maaf kepada orang yang menganiaya dirimu." (HR Thabrani, Baihaqi, dan Ibnu Abi Ad-Dunya).

Oleh karena itu, nilai moral yang melembutkan hati sebagaimana dicontohkan Rasulullah tersebut layak dihidupkan kembali, minimal dalam kehidupan pribadi, keluarga, hubungan kerja, ataupun masyarakat sekitar kita. Wallahua'lam bish shawwab.


Gus Cokro ST: Latihan Fokus dan Khusyuk

Gus Cokro ST
"Ingatlah mati dalam shalatmu, karena apabila seseorang mengingat mati dalam shalatnya, niscaya ia akan bersusah payah memperbaiki shalatnya. Dan shalatlah seperti shalatnya seseorang yang tidak mengira  akan shalat lagi." (HR. Ibn Majah)
     
Hadis Nabi Muhammad SAW tersebut menunjukkan penting dan nikmatnya khusyuk dalam shalat dengan cara mengingat mati dan menjadikan shalat yang dilaksanakan itu seolah-olah merupakan shalat terakhirnya.

Dengan kata lain, shalat yang berkualitas adalah shalat yang dapat menyadarkan pelakunya bahwa ia tidak lama lagi akan mati dan kini sedang shalat wada' (shalat pamitan, selamat jalan). 

Sejalan dengan makna dasarnya, shalat khusyuk berarti shalat yang pelaku berhasil menundukkan hatinya untuk hanya fokus mengingat Allah, merenungi dan memaknai gerak-gerik dan bacaan shalat.
       
Khusyuk yang hakiki, menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah, adalah kekhusyukan iman yang ada dalam hati Muslim, sehingga memancarkan kekhusyukan perkataan dan perbuatan anggota badan.

Iman yang khusyuk ditandai oleh sikap hati yang penuh pengagungan, ketundukan, kepasrahan, takut, dan malu kepada Allah, sehingga hatinya dipenuhi rasa cinta dan rindu kepada-Nya.
"Sungguh beruntung orang-orang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalat mereka." (QS. Al-Mukminun [23]: 1-2).

Keberuntungan spiritual ini hanya dapat diwujudkan oleh Mukmin yang shalatnya mampu menghadirkan dialog spiritual dengan Allah SWT, dan mampu menghentikan komunikasi dengan segala urusan dunia dan urusan personal di luar shalat.

Itulah shalat yang menenteramkan jiwa dan menjadikan shalat itu bermakna: bermuara pada penjauhan diri dari perbuatan keji dan munkar (QS. al-Ankabut [29]: 45).
    
Khusyuk dalam shalat itu nikmat, karena hamba dapat curhat langsung dengan Sang Maha Kasih (Allah). Sayangnya, nikmatnya khusyuk tidak selamanya dapat dinikmati oleh semua orang yang shalat, karena berbagai sebab.

Di antaranya adalah peshalat tidak menyempurnakan wudhunya, pakaian dan tempatnya tidak suci, isi perutnya tidak halal, fisiknya shalat tapi hatinya tidak ikut hadir dalam shalat.
Yang diingat justru selain Allah, shalatnya terburu-buru, tidak konsentrasi, dan tidak dibarengi pemahaman terhadap pesan-pesan moral dan sosial shalat.
       
"Maka celakalah orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya." (QS. Al-Ma’un [107]: 4-5). Dalam hal ini, orang yang tidak dapat merasakan nikmatnya khusyuk berarti termasuk orang yang mendustakan agama.

Pendusta agama itu hanya menjadikan agama sekadar formalitas, tanpa spiritualitas dan moralitas luhur yang termanifestasikan dalam amal sosial yang nyata.
       
Jika kita selalu belajar khusyuk dalam shalat dan belajar menikmati spiritualitas shalat, maka dengan sendirinya kita tidak akan pernah tergoda untuk melakukan perilaku yang tidak bermoral, seperti korupsi, penyalahgunaan narkoba, miras, pornoaksi, dan aneka kemaksiatan lainnya.

Belajar khusyuk dalam shalat dan menikmatinya sebagai menu spiritual harian kita dapat memandu jalan hidup kita untuk selalu membersihkan diri (tazkiyatun nafs), memaksimalkan dedikasi, dan meningkatkan integritas diri di manapun dan kapanpun.
    
Karena itu, evalusi terus-menerus terhadap kualitas shalat kita menjadi sangat penting. Belajar merasakan nikmatnya khusyuk dalam shalat perlu dimulai dari kesiapan hati kita untuk mau mendengar dan meresponi panggilan Allah (azan) dengan penuh rasa syukur, rasa rindu, dan rasa cinta bertemu dengan Sang Kekasih.

Sabda Nabi SAW: "Tiada seseorang yang merasa dipanggil untuk menunaikan shalat fardhu, lalu ia memperbaiki wudhu, khusyuk dan rukuknya, melainkan shalatnya itu menjadi penghapus dosa setahun sebelumnya, selama ia tidak mempunyai dosa besar." (HR. Muslim)
    
Agar dapat belajar merasakan nikmatnya khusyuk, ada baiknya kiat-kiat shalat dengan khusyuk yang diberikan oleh Imam al-Ghazali berikut kita coba aktualisasikan.
Pertama, bersihkan hati, pikiran, dan anggota badan agar jiwa siap menghadap dan mendekat kepada Yang Mahasuci.

Kedua, agungkan dan hanya ingat Allah dan ingat mati selama shalat, sehingga semua urusan keduniaan yang ada di luar shalat itu dikesampingkan dan dianggap kecil. Hanya Allah saja yang Maha Besar.

Ketiga, konsentrasi dan pahami makna semua bacaan dan gerak-gerik shalat. Makna gerakan dan bacaan shalat penting dipahami dan dihayati sepenuh hati, agar pesan moral shalat dapat ditransformasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Keempat, takut dan malu kepada Allah jika shalat yang dilaksanakan tidak sempurna, apalagi tidak diterima. Perasaan takut dan malu ini harus dimaknai secara positif, sehingga kita melaksanakan shalat dengan serius sekaligus tulus.
 
 

Gus Cokro ST: Kemuliaan Suatu Jabatan

Islam merupakan agama yang lengkap. Islam tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Allah sebagai Tuhannya, melainkan juga mengatur hubungan sesama manusia. Melalui Rasulullah Muhammad SAW, Allah SWT mengingatkan manusia menjaga kesucian diri.

Selain itu, Allah SWT memerintahkan manusia menjaga kesucian harta kekayaannya agar tetap bersih, tidak mencederai hak agama dan orang lain. Hal ini pernah dituturkan Abu Humaid As-Saidi.

Suatu hari, Rasulullah SAW menugaskan seorang lelaki dari suku Asad yang bernama Ibnu Lutbiah (ada yang menyebutnya Ibn Latabiyah) untuk memungut dan mengelola zakat Bani Sulaim.

Ketika ia telah tiba kembali dan menghitungnya, ia berkata kepada Rasulullah SAW, “Ini adalah pungutan zakat yang bisa aku serahkan kepadamu, sedangkan ini adalah hadiah yang diberikan kepadaku.”

Mendengar laporan itu, spontan Rasulullah SAW berdiri di atas mimbar kemudian memanjatkan pujian kepada Allah, selanjutnya beliau bersabda, “Apakah yang terjadi dengan seorang petugas yang aku utus, kemudian dia kembali dengan mengatakan: Ini aku serahkan kepadamu dan ini dihadiahkan kepadaku! Mengapa dia tidak duduk saja di rumah bapak atau ibunya sehingga dia bisa melihat apakah dia akan diberi hadiah atau tidak. Demi Tuhan Yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya! Tidak seorang pun dari kalian yang mengambil sebagian dari hadiah itu kecuali pada hari kiamat nanti dia akan datang menjumpai Allah dengan memikul seekor unta yang mendengus atau seekor sapi yang juga mendengus atau seekor kambing yang mengembik.

Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya hingga terlihat warna putih ketiaknya seraya mengatakan, “Ya Allah, bukankah aku telah menyampaikan apa yang kulihat dengan mataku dan kudengar dengan kedua telingaku.” Beliau mengulangi hingga dua kali. (HR Muslim No 3413 dan Abu Dawud).

Kisah yang tertulis dalam hadis ini memiliki hikmah yang cukup mendalam. Seorang petugas dan pejabat diharamkan mengambil hadiah yang diberikan kepadanya, terutama saat ia bertugas. Ia akan dilaknat Allah di Hari Kiamat.

Sungguh, hadis ini sangat dekat dengan masalah korupsi yang menggurita di negeri ini. Imam Ibnu Hajar al-Asqalaniy dalam Fathul Baari, Kitabul Hibah, bab Orang Yang Tidak Menerima Hadiah Karena Sebab Tertentu, menjelaskan, Nabi mencela perbuatan Ibnu al-Latabiyah yang menerima hadiah itu karena kedudukannya sebagai petugas.

Kemudian kalimat Mengapa engkau tidak duduk saja di rumah bapak ibumu? memberi makna sekiranya dia menerima hadiah dalam kondisi seperti itu (bukan sebagai petugas atau pejabat pemerintah, tapi cuma duduk-duduk di rumah orang tuanya) maka hukumnya tidak apa-apa (untuk menerima hadiah).

Dengan kata lain, ia tidak akan mendapatkan hadiah itu manakala ia tidak diberi tugas sebagai tenaga pemungut zakat atau tidak sebagai pejabat. Seandainya dia diam di rumahnya dan tidak memangku jabatan tertentu, tentu tidak ada hadiah untuknya.

Karena itu, dia tidak layak menghalalkannya hanya karena barang itu sampai kepadanya sebagai hadiah. Imam An-Nawawi malah menyimpulkan, hadis ini sebenarnya ingin mengatakan hadiah untuk pegawai atau pejabat itu haram dan merupakan sebuah pengkhianatan.

Sebab, pegawai itu mengkhianati wilayah dan amanahnya. Dalam konteks kekinian, apa yang dikerjakan oleh Ibn al-Latabiyah itu sesungguhnya marak terjadi. Seorang pejabat (dan tidak harus seorang petugas pajak atau auditor) melakukan kunjungan kerja ke daerah.

Saat hendak pulang, ia dihadiahi sesuatu atau diberi uang transportasi tambahan (meski ia sendiri sudah dapat uang perjalanan dinas dari kas negara) atau dihadiahi cinderamata yang cukup mahal, yang sering kali dianggap sesuatu yang lumrah di mata pejabat yang mendapatkannya.

Padahal, ia tidak akan mendapatkan itu semua seandainya ia tidak memangku jabatan yang ada di pundaknya. Tidak jauh beda ketika ia-meski sedang duduk-duduk di rumah-lalu ada yang memberinya hadiah.

Jabatan adalah kemuliaan yang diberikan Allah kepada hamba-Nya yang dikehendaki. Jabatan sebagai amanah tentu saja harus dijaga oleh yang mengembannya. Dan, sejak lima belas abad silam, Rasul mengingatkan agar jabatan tidak dinodai hal-hal kotor, seperti korupsi dan kolusi.

Sekarang, tergantung pada umatnya, apakah mau mengikuti dan meneladani sunah Rasul itu atau tidak? Atau, jangan-jangan umat Islam lebih tertarik pada gemerlapnya dunia daripada keagungan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya? Wallahu a'lam.



Gus Cokro ST: Belajar Khusyuk

Gus Cokro ST
"Ingatlah mati dalam shalatmu, karena apabila seseorang mengingat mati dalam shalatnya, niscaya ia akan bersusah payah memperbaiki shalatnya. Dan shalatlah seperti shalatnya seseorang yang tidak mengira  akan shalat lagi." (HR. Ibn Majah)
     
Hadis Nabi Muhammad SAW tersebut menunjukkan penting dan nikmatnya khusyuk dalam shalat dengan cara mengingat mati dan menjadikan shalat yang dilaksanakan itu seolah-olah merupakan shalat terakhirnya.

Dengan kata lain, shalat yang berkualitas adalah shalat yang dapat menyadarkan pelakunya bahwa ia tidak lama lagi akan mati dan kini sedang shalat wada' (shalat pamitan, selamat jalan). 

Sejalan dengan makna dasarnya, shalat khusyuk berarti shalat yang pelaku berhasil menundukkan hatinya untuk hanya fokus mengingat Allah, merenungi dan memaknai gerak-gerik dan bacaan shalat.
       
Khusyuk yang hakiki, menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah, adalah kekhusyukan iman yang ada dalam hati Muslim, sehingga memancarkan kekhusyukan perkataan dan perbuatan anggota badan.

Iman yang khusyuk ditandai oleh sikap hati yang penuh pengagungan, ketundukan, kepasrahan, takut, dan malu kepada Allah, sehingga hatinya dipenuhi rasa cinta dan rindu kepada-Nya.
"Sungguh beruntung orang-orang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalat mereka." (QS. Al-Mukminun [23]: 1-2).

Keberuntungan spiritual ini hanya dapat diwujudkan oleh Mukmin yang shalatnya mampu menghadirkan dialog spiritual dengan Allah SWT, dan mampu menghentikan komunikasi dengan segala urusan dunia dan urusan personal di luar shalat.

Itulah shalat yang menenteramkan jiwa dan menjadikan shalat itu bermakna: bermuara pada penjauhan diri dari perbuatan keji dan munkar (QS. al-Ankabut [29]: 45).
    
Khusyuk dalam shalat itu nikmat, karena hamba dapat curhat langsung dengan Sang Maha Kasih (Allah). Sayangnya, nikmatnya khusyuk tidak selamanya dapat dinikmati oleh semua orang yang shalat, karena berbagai sebab.

Di antaranya adalah peshalat tidak menyempurnakan wudhunya, pakaian dan tempatnya tidak suci, isi perutnya tidak halal, fisiknya shalat tapi hatinya tidak ikut hadir dalam shalat.
Yang diingat justru selain Allah, shalatnya terburu-buru, tidak konsentrasi, dan tidak dibarengi pemahaman terhadap pesan-pesan moral dan sosial shalat.
       
"Maka celakalah orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya." (QS. Al-Ma’un [107]: 4-5). Dalam hal ini, orang yang tidak dapat merasakan nikmatnya khusyuk berarti termasuk orang yang mendustakan agama.

Pendusta agama itu hanya menjadikan agama sekadar formalitas, tanpa spiritualitas dan moralitas luhur yang termanifestasikan dalam amal sosial yang nyata.
       
Jika kita selalu belajar khusyuk dalam shalat dan belajar menikmati spiritualitas shalat, maka dengan sendirinya kita tidak akan pernah tergoda untuk melakukan perilaku yang tidak bermoral, seperti korupsi, penyalahgunaan narkoba, miras, pornoaksi, dan aneka kemaksiatan lainnya.

Belajar khusyuk dalam shalat dan menikmatinya sebagai menu spiritual harian kita dapat memandu jalan hidup kita untuk selalu membersihkan diri (tazkiyatun nafs), memaksimalkan dedikasi, dan meningkatkan integritas diri di manapun dan kapanpun.
    
Karena itu, evalusi terus-menerus terhadap kualitas shalat kita menjadi sangat penting. Belajar merasakan nikmatnya khusyuk dalam shalat perlu dimulai dari kesiapan hati kita untuk mau mendengar dan meresponi panggilan Allah (azan) dengan penuh rasa syukur, rasa rindu, dan rasa cinta bertemu dengan Sang Kekasih.

Sabda Nabi SAW: "Tiada seseorang yang merasa dipanggil untuk menunaikan shalat fardhu, lalu ia memperbaiki wudhu, khusyuk dan rukuknya, melainkan shalatnya itu menjadi penghapus dosa setahun sebelumnya, selama ia tidak mempunyai dosa besar." (HR. Muslim)
    
Agar dapat belajar merasakan nikmatnya khusyuk, ada baiknya kiat-kiat shalat dengan khusyuk yang diberikan oleh Imam al-Ghazali berikut kita coba aktualisasikan.
Pertama, bersihkan hati, pikiran, dan anggota badan agar jiwa siap menghadap dan mendekat kepada Yang Mahasuci.

Kedua, agungkan dan hanya ingat Allah dan ingat mati selama shalat, sehingga semua urusan keduniaan yang ada di luar shalat itu dikesampingkan dan dianggap kecil. Hanya Allah saja yang Maha Besar.

Ketiga, konsentrasi dan pahami makna semua bacaan dan gerak-gerik shalat. Makna gerakan dan bacaan shalat penting dipahami dan dihayati sepenuh hati, agar pesan moral shalat dapat ditransformasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Keempat, takut dan malu kepada Allah jika shalat yang dilaksanakan tidak sempurna, apalagi tidak diterima. Perasaan takut dan malu ini harus dimaknai secara positif, sehingga kita melaksanakan shalat dengan serius sekaligus tulus.

Gus Cokro ST: Hubungan Bertetangga dari Sudut Pandang Islam

Gus Cokro ST & Habib Mundzir Al Musawwa
"Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri." (QS An Nisaa' 4: 36)

Salah satu yang harus kita nikmati dalam hidup adalah bagaimana rukun dengan tetangga kita. Kita tidak bisa memilih tetangga yang selalu sesuai dengan keinginan kita.
Tetapi kita harus bisa menyikapi setiap tetangga dengan sikap terbaik kita. Kelebihannya kita sikapi dengan sikap terbaik, sehingga menjadi ladang yang kita syukuri. Kita bisa mendapatkan manfaat dari tetangga yang banyak kebaikan. Demikian pula kekurangan tetangga pun harus menjadi ladang amal bagi kita. Karena, dia juga adalah saudara kita, yang harus kita bantu menjadi lebih baik dalam hidupnya.

Kita pun harus senang untuk melupakan, jangan merasa berjasa, merasa lebih. Karena, kalau kita banyak berharap dari tetangga kita, akan banyak terluka hati kita. Karena ingin dihargai, ingin dihormati, ingin dipuji, maka akan makin tertekan diri kita. Pendek kata merdekakan diri ini dengan banyak berbuat, bukan banyak berharap dari tetangga-tetangga kita.
Kita tidak akan pernah rugi dengan situasi apapun jika kita selalu bersikap benar di jalan yang Allah sukai. Tapi kita akan rugi kalau kita menjadi zalim kepada orang lain. Kalau kita berbuat kebaikan, maka kebaikan itu akan kembali kepada kita.

Tetapi, kalau kita berbuat keburukan, maka keburukan itu pula yang akan kembali kepada kita. Mudah-mudahan dengan latihan hidup rukun dalam bertetangga, lingkungan akan bisa kita nikmati di dunia ini dan bisa menjadi amal untuk kelak di akhirat nanti.
Alangkah beruntungnya jika kita hidup dan bertetangga dengan orang-orang yang mulia. Walaupun rumah sempit, kalau tetangganya baik, akan terasa lapang. Dan, alangkah ruginya, jika rumah kita dikelilingi oleh tetangga-tetangga yang busuk hati. Walaupun rumah lapang, niscaya akan terasa sempit.

Memang sungguh nikmat jika kita memiliki tetangga-tetangga yang baik ahlak, ramah, dan penuh perhatian. Kendati demikian, kita tidak pernah bisa memaksa orang lain untuk selalu bersikap baik, kecuali kita paksa diri kita sendiri untuk bersikap baik terhadap siapapun.

Musik yang bagus berawal dari suara dan tangga nada yang berbeda-beda, namun kalau dipadukan akan menjadi indah. Artinya, kita tidak bisa mengharapkan tetangga-tetangga kita persis sama dengan kita. Bisa jadi perbedaan keadaan tetangga malah memperindah ahlak kita. Ada tetangga yang melimpah rizkinya, ada yang kurang rizkinya, ada yang berkedudukan tinggi, ada yang tidak berkedudukan, ada yang rumahnya di gang sempit (berdempet-dempet), ada yang bertipe menengah, perumnas, atau BTN, bahkan ada yang besar luas sampai tidak tahu tetangga kanan kiri. Ini adalah sebuah simponi yang kalau disikapi dengan niat yang indah, niscaya akan menjadi sesuatu yang menyenangkan.

Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda, "Hak tetangga ialah, bila dia sakit, kamu kunjungi. Bila wafat, kamu mengantarkan jenazahnya. Bila dia membutuhkan uang, maka kamu pinjami. Dan bila mengalami kesukaran/kemiskinan, maka jangan dibeberkan, aib-aibnya kamu tutup-tutupi dan rahasiakan. Bila dia memperoleh kebaikan, maka kita turut bersuka cita dan mengucapkan selamat kepadanya. Dan bila menghadapi musibah, kamu datang untuk menyampaikan rasa duka. Jangan sengaja meninggikan bangunan rumahmu melebihi bangunan rumahnya, lalu menutup jalan udaranya (kelancaran angin baginya). Dan janganlah kamu mengganggunya dengan bau masakan, kecuali kamu menciduknya dan memberikan kepadanya."

Inilah keadaan rumah Rasul, ketika beliau memasak maka tetangga yang mencium bau masakan tersebut ikut mendapat makanan. Namun, yang paling penting, kita melihat bahwa kebahagiaan kita itu bukan soal kita mendapat sesuatu atau tidak dari tetangga. Yang harus kita latih, kenikmatan bertetangga bukan mengharapkan sesuatu dari tetangga, tapi berupaya agar kita bisa berbuat yang terbaik untuk tetangga.

Kita akan tertekan ketika kita berharap banyak. Sebab, yang namanya rizki tidak selalu bermakna apa yang telah kita dapatkan, melainkan apa yang bisa kita lakukan. Jangan sampai gorden rumah kita copot gara-gara terlalu sering melihat tetangga. Makin sering nengokin tetangga, bisa jadi akan semakin menderita, sebab kedengkian kita kepada tetangga tidak akan mempengaruhi rizki tetangga, sebab yang membagikan rizki adalah Allah.

Sialnya jika kita dengki sama tetangga namun tetangga tambah nikmat. Tentu kita tambah menderita. Tetangga makin pulas, kita nggak bisa tidur. Mau keluar rumah susah, mau masuk juga susah. Bagaimana tidak, sosok tetangga yang kita dengkikan itu terus muncul di depan kita.

Maka di sini kita harus mampu mengemas kehidupan bertetangga menjadi ladang amal kita. Kalau kita punya tetangga kaya, sukses, jangan iri hati dan jangan suka mengintip. Apabila tetangga memperoleh kesuksesan atau keluasan rizki, belajarlah senang dengan kesuksesan orang. "Alhamdulillah, dia ternyata sekarang dititipi rizki. Mudah-mudahan barokah, mudah-mudahan bisa banyak manfaat."

Kalau ada tetangga kita yang kekurangan, harus menjadi ladang amal bagi kita. Tidak termasuk orang yang beriman kalau kita kenyang dan pada saat yang sama tetangga kita lapar. Tidak akan miskin dengan menyantuni tetangga. Jika beras cukup, sisihkan sebagian untuk tetangga. Baju bekas anak-anak yang masih layak pakai, kalau belum sanggup memberikan baju bagus, berikan pada anak tetangga. Panci kita sudah agak penyok-penyok, berikan pada tetangga yang membutuhkan, kalau kita belum sanggup memberinya panci yang bagus. Tentu saja, jika mampu, berikanlah barang-barang yang berkualitas terbaik.

Di sinilah sebenarnya hasil ibadah kita akan terlihat, karena alat ukur ibadah kita bukan ketika sedang shalat saja, tapi bagaimana sesudahnya. Misalnya, shalat itu 5 x 10 menit atau 50 menit, dibulatkan menjadi sekitar 1 jam sehari, sedangkan 1 hari 24 jam. Bagaimana mungkin yang 1 jam baik, sedang yang 23 jam jelek semuanya?

Tidak akan rugi berbuat baik pada tetangga. Makin tetangga merasa nikmat dengan kita, dengan sendirinya mereka akan ikut membela kita. Sehebat apapun kita, tetap butuh tetangga. Misalnya, kita punya saudara dokter, tapi saat anak sakit yang duluan menolong pasti tetangga. Punya saudara anggota pemadam kebakaran, jika kompor di rumah meletus, yang lebih dulu membantu memadamkan pasti tetangga. Punya saudara jendral atau polisi, datang maling ke rumah, lantas kita teriak, yang duluan ngejar juga tetangga.

Maka kalau punya tetangga, terus perhatikan. Setiap kebahagiaannya, kita ikut bahagia. Anaknya lulus, alhamdulillah. Anaknya dapat kerjaan, alhamdulillah. Anak tetangga dapat jodoh, alhamdulillah. Insya Allah, kita akan bahagia terus. Hidup penuh kesyukuran kepada Allah Yang Maha Pemurah.

Makin tetangga sayang kepada kita, makin berbahagia hidup kita. Karena itu, bersilaturahmi dengan tetangga itu jangan cuma sisa waktu. Maksudnya, luangkan waktu, tenaga, fikiran untuk terus bersilaturahmi memperhatikan tetangga. Kalau mereka ingin maju, majulah bersama-sama. Karena, kalau kita maju sendirian dan tetangga tidak ikut maju, bisa jadi muncul kecemburuan sosial. Hal ini tentu akan merusak iklim pergaulan sosial di sekitarnya.

Jika kita jadi orang kaya namun tinggal di lingkungan perumahan sederhana, kemudian bikin rumah lima lantai sendiri tapi di sekelilingnya gubuk, tentu bisa menimbulkan sakit hati. Usahakan kalau kita punya rumah jangan sampai terlalu menyolok, membuat orang lain dengki. Seperti kata Rasul, jangan sampai menutupi cahaya, kecuali kalau mereka ridha. Kalau tidak, berikan kompensasi yang memadai. Pokoknya jangan berbuat yang membuat tetanga tidak suka kepada kita.

Pertanyaannya, bagaimana kalau tetangga kita yang kurang baik ahlaknya? Ini juga bisa jadi ladang amal. Kalau dalam satu RT ada tetangga yang ahlaknya kurang bagus, kita jangan meladeni dengan hal yang sama, sebab nanti di tempat itu jadi ada dua yang sama jeleknya: dia dan kita.
Tetangga yang kurang baik, yang kurang bijaksana, harus menjadi ladang amal bagi kita. Kita berkewajiban memberi contoh bagaimana sikap bertetangga yang baik. Sikap emosional, sikap membalas dendam, hanya akan membuat kehidupan bertetangga bagai api disiram bensin.

Bila kita sudah berusaha berbuat baik terhadap tetangga kita, namun ternyata tetangga kita berbuat sebaliknya, misalnya dia kurang mengetahui etika bertetangga, kita perlu pahami bahwa orang berbuat salah, berbuat jelek, belum tentu orang itu ingin berbuat zhalim. Ada orang berbuat salah karena dia merasa hal itu adalah benar menurut standar dia. Dia belum tahu, maka tugas kita adalah memberi tahu. Ada yang sudah tahu, tapi masih susah menghilangkan kesenangannya, maka kita bantu agar secara pelan tapi pasti dia bisa mengganti kesenangannya tanpa merugikan orang lain.

Sebagai pelajaran, hati-hati dalam berbuat. Jangan sampai tetangga merasa teraniaya. Yang paling penting adalah jangan hadapi tetangga dengan kebencian, karena kalau kita sudah benci kita akan cenderung menjatuhkan, menyakiti, membeberkan aib, dan semua ini tidak menjadi solusi.

Tetangga memang orang terdekat dengan kita. Menurut Imam Syafi'i, mereka adalah empat puluh rumah di samping kiri, kanan, depan, dan belakang. Mau tidak mau, setiap hari kita berjumpa dengan mereka. Baik hanya sekadar melempar senyum, lambaian tangan, salam, atau malah ngobrol di antara pagar rumah. Tetangga adalah orang terdekat dengan kita. Orang tua bilang, mereka adalah 'andalan' untuk segala suasana.

Rasanya, kita senantiasa harus melakukan instrospeksi terhadap diri pribadi. Apakah tetangga kita menyukai kehadiran kita atau jangan-jangan mereka malah terganggu dengan kehadiran kita. Maka sudah saatnya kita menebarkan salam, senyum, pada orang yang berada di sekitar tempat tinggal kita. Menjaga perasaan mereka, mengulurkan bantuan sekuat tenaga sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia memuliakan tetangganya." (HR Muslim). 
 
 

Gus Cokro ST: Waktu Adalah Pedang!

Islam memaknai waktu tak sekadar deretan angka belaka. Namun, lebih dalam lagi yang ujungnya sampai pada perenungan, siapa yang menciptakan waktu, untuk siapa waktu diciptakan, dan bagaimana mengelola waktu agar tak rugi di dunia dan akhirat?

Inilah jawaban untuk semua pertanyaan itu, ''Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi kepada-Ku.'' (Ad-Dzaariyat: 56). Dari ayat pendek ini, sudah terjawab tiga pertanyaan di atas dengan lugas.

Siapa sang pencipta waktu? Jawabnya adalah Allah SWT. Untuk siapa waktu diciptakan? Untuk jin dan manusia. Dan, bagaimana mengelola waktu? Jawabnya, waktu harus digunakan untuk mengabdi atau beribadah kepada Sang Pencipta waktu, yaitu Allah SWT.

Nikmat tertinggi yang diberikan Allah kepada manusia adalah waktu. Karena itu, seharusnya manusia mampu mengelola karunia waktu dengan seefektif dan seefisien mungkin untuk menjalankan tugasnya sebagai makhluk Allah di bumi ini.

Karena pentingnya waktu ini, Allah bahkan telah bersumpah pada permulaan berbagai surat dalam Alquran yang turun di Makkah dengan berbagai macam bagian dari waktu. Misalnya demi waktu malam, demi waktu siang, demi waktu fajar, demi waktu dhuha, dan demi masa.

Menurut para mufassirin, apabila Allah bersumpah dengan sesuatu dari ciptaan-Nya termasuk waktu, hal itu mengandung maksud agar kaum Muslimin memperhatikan dengan serius terhadap isi ayat-ayat berikutnya.

Contohnya, Demi malam apabila menutupi (cahaya siang) atau Demi matahari dan cahayanya di pagi hari. Melalui dua ayat pembuka ini, Allah ingin menunjukkan kekuasaan dalam pengaturan dan pergeseran waktu yang menjadi kekuasaan-Nya.

Dari keteraturan pergerakan alam, kita bisa mengambil kesimpulan, salah satu manfaat dari eksistensi benda-benda langit itu adalah untuk menentukan waktu-waktu ibadah. Dan, ciri-ciri Muslim yang kafah adalah mereka yang menghargai dan mengelola waktu dengan baik.

Sebab, menghargai waktu merupakan salah satu indikasi keimanan dan bukti ketakwaan. Dalam surah al-Furqan ayat 62 dinyatakan, Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur.

Dalam konteks ini, secara vertikal seorang Muslim mengisi waktunya dengan beragam ibadah. Sebut saja shalat malam, puasa sunah, dan menuntut ilmu. Secara horizontal, Muslim mengisi waktunya dengan bermuamalah dengan masyarakat.

Selain itu, dia mencari nafkah bagi keluarganya, menunaikan tugas dakwah di lingkungan masyarakat, dan di tempat-tempat lainnya. Sejarah keberhasilan perjuangan Rasulullah SAW dalam berdakwah juga karena manajemen waktu yang efektif.

Ini terbukti dalam waktu singkat, Rasulullah SAW mampu membawa umat dari zaman Jahiliyah menuju peradaban yang gemilang. Umat menjelma sebagai sosok-sosok beriman dan beradab. Mari kita meneladani Rasulullah SAW dengan mengisi waktu yang kita miliki dengan melakukan ketaatan kepada Allah SWT.

Penting juga bagi kita mengingat nasihat Imam Al-Ghazali, Jadikan gerak dan diammu sebagai ibadah kepada-Nya, selama umur masih bersamamu.


Gus Cokro ST: Tanda Anda Bisa Disebut Orang Bahagia

Gus Cokro ST
Ibnu Abbas RA adalah salah seorang sahabat Rasulullah SAW yang dijuluki Turjumaanul Qur’an(ahli menerjemahkan Alquran). Dia sangat telaten menjaga dan melayani Rasulullah SAW. Dia pernah secara khusus didoakan Rasulullah SAW. Pada usia sembilan tahun Ibnu Abbas telah hafal Alquran dan telah menjadi imam di masjid. 
Sejak kecil Ibnu Abbas sudah menunjukkan kecerdasan dan semangatnya menuntut ilmu. Beragam gelar diperolehnya. Seperti faqih al-ashr (ahli fikih di masanya), imam almufassirin( penghulu ahli tafsir), dan al-bahr(lautan ilmu).

Suatu hari, ia ditanya seorang tabiin (generasi sesudah para sahabat) mengenai kebahagiaan dunia. Ibnu Abbas menjawab ada tujuh indikator kebahagiaan dunia. Pertama, hati yang selalu bersyukur. Selalu menerima apa yang diberikan Allah SWT dengan ikhlas. “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman.” (QS al-Mu’minun [23]: 1).

Kedua, pasangan hidup yang saleh. Pasangan saleh akan menciptakan suasana rumah dan keluarga yang saleh pula. Di akhirat kelak seorang suami (sebagai imam keluarga) akan diminta pertanggungjawaban dalam mengajak istri dan anaknya kepada kesalehan. Sebaliknya, istri yang salehah akan memiliki kesabaran dan keikhlasan yang luar biasa dalam melayani suami dan anak-anaknya.

Ketiga, anak yang saleh. Rasulullah SAW bersabda, “Apabila seorang anak Adam mati maka terputuslah seluruh amalnya kecuali dari tiga perkara; sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang selalu mendoakan orang tuanya.” (HR Muslim).
Rasulullah SAW pernah menjawab pertanyaan seorang anak muda yang selalu menggendong ibunya yang uzur. “Ya Rasulullah, apakah aku termasuk berbakti pada orang tua?” Rasulullah SAW menjawab, “Sungguh Allah ridha kepadamu, kamu anak saleh, berbakti, tapi anakku ketahuilah, cinta orang tuamu tidak akan terbalaskan olehmu.”

Keempat, lingkungan yang kondusif untuk iman kita. (QS at- Taubah [9]: 119). Rasulullah SAW juga mengajarkan agar bersahabat dengan orang yang dapat memberikan kebaikan dan sering menasihati kita. Pentingnya bergaul dengan orang saleh, dapat kembali membangkitkan semangat keimanan.

Kelima, harta yang halal. Dalam Islam kualitas harta adalah yang terpenting, bukan kuantitas harta. Dalam riwayat Imam Muslim di dalam Bab Shadaqoh, Rasulullah SAW pernah bertemu dengan seorang sahabat yang berdoa mengangkat tangan. “Kamu berdoa sudah bagus, namun sayang makanan, minuman, dan pakaian dan tempat tinggalnya didapat secara haram, bagaimana doanya dikabulkan.”

Keenam, semangat memahami agama. Semakin belajar, semakin cinta kepada agamanya, semakin tinggi cintanya kepada Allah dan rasul-Nya. Cinta inilah yang akan memberi cahaya bagi hatinya. Semangat memahami agama akan menghidupkan hatinya.

Ketujuh, umur yang berkah. Semakin tua semakin saleh, yang setiap detiknya diisi amal ibadah. Orang yang mengisi hidupnya untuk kebahagiaan dunia semata, hari tuanya akan sibuk berangan-angan. Hatinya kecewa bila tidak mampu menikmati yang diangankannya. Orang yang mengisi umurnya dengan amal ibadah, semakin tua semakin rindu bertemu Allah SWT. 
 
 
 

Gus Cokro ST: Coba Menemukan Alhamdulillah di Tengah Musibah

Gus Cokro ST
Musibah baik yang terjadi di darat, laut, dan udara adalah sebuah sunnatullah. Selain musibah merupakan ujian atau azab. Artinya, dalam kondisi apapun seharusnya kita siap menghadapi musibah yang datang.

Andai kita siap, bila musibah terjadi di sekitar kita atau menimpa diri kita, maka insya Allah kita akan husnul khatimah. Bahkan mudah-mudahan kita digolongkan Allah SWT sebagai orang-orang yang meninggal fi sabilillah.

Dan, musibah itu tak dapat diperkirakan betapapun manusia mempersiapkan diri dan berusaha memprediksinya. Tetap saja manusia tak mampu memperkirakannya dengan akurat. Tak ada satu pun manusia yang bisa melakukannya.

Bahkan lebih banyak musibah yang datang begitu saja, tak diperkirakan sebelumnya. Misalnya ada seorang tukang becak meninggal dunia karena kejatuhan pesawat bermuatan durian dua ton.

Pesawat tersebut hendak terbang, tetapi ternyata tak bisa terbang. Akhirnya, pesawat terbang itu menimpa tukang becak.

Atau ada`satu keluarga yang rumahnya tertabrak truk. Bukan bagian depan rumahnya, melaikan bagian belakang rumahnya. Rupanya truk ini menanjak namun tak kuat. Rem tak mampu menahan beban truk, hingga truk itu menabrak rumah yang sudah dilewatinya.

Kemalangan dan keburuntungan akan datang silih berganti. Demikian pula dengan kebaikan dan keburukan datang silih berganti. Jadi, bagaimana kita menyikapinya?

Pastikan saja kita berada`di rel yang benar. Pastikan pula kita menjadi orang benar, menuntaskan semua urusan dengan manusia dan Allah SWT. Tak ada yang terabaikan, terzalimi bahkan diri kita sendiri. Tunaikan shalat malam. Berjamaah shalat shubuh dengan masyarakat kampung atau keluarga. Tunaikan pula shalat duha, puasa Senin-Kamis. Baik ada rezeki mau pun dalam kesempitan, tetap bersedakah.

Kalau kita sudah pastikan semua itu berjalan, saat musibah datang tak akan menjadi masalah. Sebaliknya, kecelakaan buat kita adalah ketika musibah datang, kita belum siap. Misalnya, pukul 14.00 sebuah musibah datang, sekonyong-konyong muncul air bah, banjir bandang.

Celakanya, mengapa kita belum shalat Zhuhur saat musibah itu datang? Padahal azan Zhuhur sudah berkumandang sejak pukul 12.00. Tetapi mengapa kita belum shalat? Ini bukan berarti orang yang sudah shalat bakal terhindar dari musibah itu.

Jadi, poinnya adalah kita, saya dan teman-teman sekalian, tidak menunda kebaikan dan menghentikan keburukan. Sebisa mungkin kita memperbanyak kebaikan. Kondisinya siap, mau mati kapan saja dan dengan cara apa saja.

Meninggal dengan tenang atau mendadak, itu urusan Allah SWT. Kita tak tahu kapan meteor jatuh dan menyebabkan musibah. Tapi, kalau kita sudah siap, dalam arti tak ada yang kita lalaikan dan sempat meminta ampunan kepada Allah SWT, kita tak akan takut dan sedih.



Gus Cokro ST: How Life After Death

Gus Cokro ST
Kehidupan di dunia ini sebenarnya adalah kehidupan menuju akhirat. Ia adalah jembatan yang mesti dilalui oleh setiap manusia sebelum menempuh alam akhirat. Bahasa sederhananya, kehidupan dunia adalah medan persediaan dan persiapan untuk menuju kehidupan akhirat yang kekal sepanjang zaman. Ar-Raghib mengatakan, Kekal adalah terbebasnya sesuatu dari segala macam kerusakan dan tetap dalam keadaan semula.” 
Kehidupan dunia ini merupakan jembatan penyeberangan, bukan tujuan akhir dari sebuah kehidupan, melainkan sebagai sarana menuju kehidupan yang sebenarnya, yaitu kehidupan akhirat. Karena itu, Alquran menamainya dengan beberapa istilah yang menunjukkan hakikat kehidupan yang sebenarnya. 
Pertama, al-hayawan (kehidupan yang sebenarnya). Tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan kalau mereka mengetahui.” (QS al-Ankabut [29]: 64).
Kedua, dar al-qarar (tempat yang kekal). Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara), dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.” (QS Ghafir [40]: 39).
Ketiga, dar al-jaza’ (tempat pembalasan). Di hari itu, Allah akan memberi mereka balasan yang setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allahlah yang benar lagi yang menjelaskan (segala sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya).” (QS an-Nur [24]: 25).
Keempat, dar al-muttaqin (tempat yang terbaik bagi orang yang bertakwa). Dan dikatakan kepada orang-orang yang bertakwa: ‘Apakah yang telah diturunkan oleh Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘(Allah telah menurunkan) kebaikan.’ Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini mendapat (pembalasan) yang baik. Sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik, dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa.” (QS an-Nahl [16]: 30).
Dengan demikian, setelah manusia mengetahui akan hakikat kehidupan yang sebenarnya, mereka akan memberikan perhatian yang lebih besar pada kehidupan akhirat yang kekal daripada kehidupan dunia yang fana ini. Sebab, Sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang.” (QS ad-Dhuha [93]: 4).
Oleh karena itu, Sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga-surga itu. Mereka mengatakan: ‘Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu.’ Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada istri-istri yang suci, dan mereka kekal di dalamnya.” (QS al-Baqarah [2]: 25). Wallahu a’lam.