Dalam al-Qur’an, tidak ada seorang nabi yang dipuji begitu tinggi,
melebihi Nabi Muhammad SAW. Dalam satu ayat, Nabi SAW disebut sebagai teladan yang baik (uswah hasanah), yakni tokoh identifikasi atau dalam bahasa sekarang dinamakan model peran, role model (QS. Al-Ahzab [33]: 29.
Dalam ayat yang lain, tidak tanggung-tanggung, Allah SWT menyebut Baginda Rasul sebagai manusia dengan pribadi yang benar-benar agung. (QS. Al-Qalam [68]: 4). Mungkin ada yang bertanya, dari mana keagungan itu dicapai oleh Nabi SAW?
Keterangan dalam al-Qur’an surah al-An`am bisa menjadi kunci jawabannya. Dalam surah ini, diceritakan nabi-nabi terdahulu, mulai dari Nuh, Ibrahim, Ya`qub, Yusuf, dan lain-lain. Pendeknya, ada 18 Nabi dikemukakan di situ.
Pada ayat ke-90, setelah cerita nabi-nabi itu, lalu Allah menegaskan: “Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka.” (QS. Al-An`am [6]: 90). Para Nabi dan Rasul Allah itu adalah mereka yang mendapat bimbingan dari Allah.
Mereka, dengan keistimewaan masing-masing, tak ubahnya bintang-bintang yang menerangi dan mencerahkan alam dan kehidupan. Nabi Muhammad SAW, sebagai pamungkas para nabi, diperintahkan oleh Allah agar mengikuti dan meneladani mereka.
“Maka Ikutilah petunjuk mereka,” firman-Nya. Jadi, Baginda Rasul mewarisi kemuliaan dan keistimewaan nabi-nabi terdahulu, sehingga membentuk akumulasi keagungan yang benar-benar agung.
Abbas Mahmud Aqqad, dalam `Abqariyyatu Muhammad, menilai keagungan Nabi SAW itu bena-benar sempurna, karena terjadi dalam segala ukuran, baik menurut ukuran agama, ilmu pengetahuan, dan ukuran kehalusan rasa dan keluhuran budi pekerti.
Bahkan, keagungan Nabi SAW diakui oleh orang-orang yang berbeda agama. Jadi, keagungan Nabi SAW diafirmasi bukan hanya oleh sahabat dan para pengikutnya, melainkan juga oleh lawan dan orang-orang yang memusuhinya.
Pada bagian akhir bukunya, Aqqad kembali menunjukkan keagungan Baginda Rasul dengan menunjukkan beberapa karakter atau kualitas yang menjadi kekuatannya.
Aqqad menyebutnya al-thba’i` al-Arba` (empat karakter) yang amat menonjol pada diri Nabi SAW, yaitu karakter ibadah (thabi`at al-ibadah), karakter berpikir (thabi`at al-tafkir), karakter berkomunikasi (thabi`at al-ta`bir), dan karakter kerja dan berjuang (thabi`at al-`amal wa al-harakah).
Empat tabiat (karakter) ini, diakui Aqqad, jarang menyatu pada diri seorang. Menurut ghalibnya, apabila satu karakter kuat (dominan), maka karakter lainnya lemah. Sebagai contoh, ada orang yang kuat ibadahnya, tetapi lemah pikirannya. Ada juga yang sebaliknya, ibadah rajin, tetapi malas berpikir.
Keagungan Nabi SAW tampak nyata dan memperoleh dukungan amat kuat baik dalam Alqur’an maupun dalam sejarah, sehingga tak seorang pun dapat menyangkalnya.
Sampai-sampai filosof Muslim asal Pakistan, Muhammad Iqbal pernah berkata: “Orang boleh jadi tak percaya kepada Tuhan, tetapi ia tak mungkin inkar kepada keberadaan dan kebesaran Nabi Muhammad SAW.”
Dalam ayat yang lain, tidak tanggung-tanggung, Allah SWT menyebut Baginda Rasul sebagai manusia dengan pribadi yang benar-benar agung. (QS. Al-Qalam [68]: 4). Mungkin ada yang bertanya, dari mana keagungan itu dicapai oleh Nabi SAW?
Keterangan dalam al-Qur’an surah al-An`am bisa menjadi kunci jawabannya. Dalam surah ini, diceritakan nabi-nabi terdahulu, mulai dari Nuh, Ibrahim, Ya`qub, Yusuf, dan lain-lain. Pendeknya, ada 18 Nabi dikemukakan di situ.
Pada ayat ke-90, setelah cerita nabi-nabi itu, lalu Allah menegaskan: “Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka.” (QS. Al-An`am [6]: 90). Para Nabi dan Rasul Allah itu adalah mereka yang mendapat bimbingan dari Allah.
Mereka, dengan keistimewaan masing-masing, tak ubahnya bintang-bintang yang menerangi dan mencerahkan alam dan kehidupan. Nabi Muhammad SAW, sebagai pamungkas para nabi, diperintahkan oleh Allah agar mengikuti dan meneladani mereka.
“Maka Ikutilah petunjuk mereka,” firman-Nya. Jadi, Baginda Rasul mewarisi kemuliaan dan keistimewaan nabi-nabi terdahulu, sehingga membentuk akumulasi keagungan yang benar-benar agung.
Abbas Mahmud Aqqad, dalam `Abqariyyatu Muhammad, menilai keagungan Nabi SAW itu bena-benar sempurna, karena terjadi dalam segala ukuran, baik menurut ukuran agama, ilmu pengetahuan, dan ukuran kehalusan rasa dan keluhuran budi pekerti.
Bahkan, keagungan Nabi SAW diakui oleh orang-orang yang berbeda agama. Jadi, keagungan Nabi SAW diafirmasi bukan hanya oleh sahabat dan para pengikutnya, melainkan juga oleh lawan dan orang-orang yang memusuhinya.
Pada bagian akhir bukunya, Aqqad kembali menunjukkan keagungan Baginda Rasul dengan menunjukkan beberapa karakter atau kualitas yang menjadi kekuatannya.
Aqqad menyebutnya al-thba’i` al-Arba` (empat karakter) yang amat menonjol pada diri Nabi SAW, yaitu karakter ibadah (thabi`at al-ibadah), karakter berpikir (thabi`at al-tafkir), karakter berkomunikasi (thabi`at al-ta`bir), dan karakter kerja dan berjuang (thabi`at al-`amal wa al-harakah).
Empat tabiat (karakter) ini, diakui Aqqad, jarang menyatu pada diri seorang. Menurut ghalibnya, apabila satu karakter kuat (dominan), maka karakter lainnya lemah. Sebagai contoh, ada orang yang kuat ibadahnya, tetapi lemah pikirannya. Ada juga yang sebaliknya, ibadah rajin, tetapi malas berpikir.
Keagungan Nabi SAW tampak nyata dan memperoleh dukungan amat kuat baik dalam Alqur’an maupun dalam sejarah, sehingga tak seorang pun dapat menyangkalnya.
Sampai-sampai filosof Muslim asal Pakistan, Muhammad Iqbal pernah berkata: “Orang boleh jadi tak percaya kepada Tuhan, tetapi ia tak mungkin inkar kepada keberadaan dan kebesaran Nabi Muhammad SAW.”