Gus Cokro ST: Belajar Mengendalikan Emosi dari Kanjeng Nabi

Ketika Rasul SAW berjalan bersama Anas ra, tiba-tiba ada seorang Badui mengejar dan serta merta menarik serbannya dengan keras. Anas berkata, "Aku melihat bekas tarikan serban kasar itu pada leher Rasul." Lalu Badui berkata, "Wahai Muhammad, berilah aku dari harta Allah yang ada padamu."

Rasul menoleh sambil tersenyum lalu memerintahkan sahabat agar memberikan harta cukup banyak kepadanya. Sikap Nabi ini menggambarkan betapa hebatnya kemampuan beliau dalam mengendalikan emosi. Beliau disakiti, dihinakan di depan orang, dan dimintai sedekah secara paksa, tetapi beliau tidak marah.

Kemarahan adalah ketegangan jiwa yang muncul akibat penolakan terhadap apa yang tidak diinginkan, atau bersikukuh dengan pendapat tertentu tanpa melihat kesalahan atau kebenarannya.

Secara psikologis dan medis, kemarahan merupakan suatu sikap emosional yang berdampak negatif pada jantung. Saat marah, terjadi perubahan fisiologis seperti meningkatnya hormon adrenalin yang akan memengaruhi kecepatan detak jantung dan menambah penggunaan oksigen. Kemarahan akan memaksa jantung memompakan darah lebih banyak sehinga bisa mengakibatkan tingginya tekanan darah. Akibatnya bisa fatal bila pemarah tersebut memiliki penyakit darah tinggi atau jantung.

Hasil penelitian modern menyimpulkan bahwa kemarahan berulang-ulang bisa memperpendek umur karena diserang berbagai penyakit kejiwaan dan penyakit jasmani. Di sini letak urgensinya larangan marah. Ketika seorang laki-laki datang kepada Rasul SAW lalu berkata, "Berilah aku nasihat." Rasul bersabda, "Jangan marah." Lelaki itu mengulangi permintaannya beberapa kali, tetapi beliau tetap menjawab, "Jangan marah." (HR al-Bukhari).

Dampak kemarahan akan semakin parah saat dalam keadaan berdiri, karena semua urat dan otot mengencang sehingga meningkatkan jumlah hormon adrenalin. Keadaan seperti ini bisa mengakibatkan penyakit kanker. Berbeda kalau dia duduk, maka adrenalin akan menurun.

Dan, apabila mengingat Allah lalu berlindung kepada-Nya dari kejahatan setan maka akan menghasilkan ketenteraman hati secara signifikan. "Bila salah seorang dari kamu marah dalam keadan berdiri hendalah duduk, bila kemarahan masih belum hilang hendaklah ia berbaring." (HR Ahmad).

Dalam ilmu jiwa, akar dari emosi adalah ketidakpuasan terhadap sesuatu. Saat berlindung kepada Allah dari setan berarti dia mengakui bahwa emosi adalah perbuatan setan, dan emosi bisa dihalau dengan cara meyakini bahwa kebaikan dan keburukan semua datang dari Allah dan dia harus selalu rida dengan ketentuan-Nya.

Saat Rasul SAW melihat seorang sedang marah besar beliau bersabda, "Aku akan ajarkan kalimat-kalimat kalau dia membacanya akan hilang kemarahannya. Kalau dia mengucapkan A'udzubillahi min as syaithoni ar rajiim pasti akan hilang amarahnya." (HR Bukhari dan Muslim).

Belakangan ini sering terjadi kerusuhan, tawuran, dan tindakan anarkis. Sudah pasti hal itu diawali emosi yang tidak terkendali. Orang kuat dalam Islam adalah orang yang mampu mengendalikan amarahnya. Agar tidak marah kita harus mengingat Allah yang selalu mengawasi kita dan bersikap toleran. Obat manjur ketegangan jiwa adalah sikap toleran.


Gus Cokro ST: Dosa Kriwik'an Dadi Grojok'an

Gus Cokro ST
Sebagai  makhluk Allah  kita tidak luput dari dosa, maksiat, dan aneka kesalahan. Di antara makhluk-Nya yang tidak pernah luput tersebut akan disebut baik jika mereka bersegera bertaubat. Sabda Nabi SAW, "Setiap anak Adam pernah berbuat dosa dan sebaik-baik yang berbuat dosa adalah yang bergera bertaubat." (HR Muslim).

Di antara kebiasaan kita adalah menganggap enteng dosa kecil, seperti berbohong, gibah (gosip), dan mengadu domba. Dalam pandangan Rasulullah SAW, menganggap enteng dosa kecil adalah sebuah respons perilaku yang tidak baik. Bahkan, akan menjadi dosa besar yang kita anggap dosa kecil tersebut.

Pertama, jika dilakukan terus-menerus. "Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedangkan mereka mengetahui." (QS Ali Imran[3]:135). Ibnu Qoyyim mengatakan, dosa besar yang hanya dilakukan sekali lebih bisa diharapkan pengampunannya daripada dosa kecil yang dilakukan terus-menerus.

Kedua, jika seorang hamba meremehkannya. Setiap kali seorang hamba menganggap besar sebuah dosa niscaya akan kecil di sisi Allah, dan setiap kali ia menganggap remeh sebuah dosa niscaya akan menjadi besar di sisi-Nya. Abdullah bin Mas'ud ra berkata, "Seorang mukmin memandang dosanya bagaikan gunung yang akan runtuh menimpa dirinya, sedangkan seorang pendosa menganggap dosanya seperti seekor lalat yang menclok di hidungnya, cukup diusir dengan tangannya." (HR Bukhari Muslim). Bilal bin Sa'ad rahimahullah berkata, "Jangan kamu memandang kecilnya dosa, tapi lihatlah kepada siapa kamu berbuat dosa itu."

Ketiga, jika dilakukan dengan bangga atau minta dipuji.  Seperti seseorang yang mengatakan, "Lihat, bagaimana hebatnya saya mempermalukan orang itu di depan umum?" Atau, seperti ucapan seorang pedagang, "Lihat, bagaimana saya bisa menipu pembeli itu?"

Keempat, jika seseorang melakukan dosa tanpa diketahui orang lain lalu ia menceritakannya dengan bangga kepada orang lain.  Rasulullah SAW bersabda, "Setiap umatku sela

Kelima, jika yang melakukannya seorang alim yang menjadi panutan. Karena apa yang ia lakukan dicontoh oleh orang lain. Ketika ia melakukan dosa, maka ia juga mendapatkan dosa orang yang mencontohnya. Rasulullah bersabda,  "… dan barang siapa memberi contoh keburukan dalam Islam maka baginya dosa perbuatan itu dan juga dosa orang yang mencontohnya setelah itu tanpa dikurangi sedikit pun dosa itu dari pelakunya." (Muslim).

Dari kelima kriteria ini, sungguh jika pun itu terjadi tetap akan dipandang baik jika mereka, bersegera bertaubat; menyudahi semua perbuatan zalimnya dan bersumpah  untuk tidak mengulangi lagi. Wallahu a'lam.
mat kecuali orang-orang yang terang-terangan berlaku dosa. Dan di antara perbuatan terang-terangan melakukan dosa ialah jika seseorang berdosa di malam hari sementara Allah telah menutupi aibnya, namun di pagi hari ia merobek tirai penutup itu sambil berkata, "Hai Fulan, semalam aku melakukan ini dan itu." (Bukhari-Muslim).


100 Pendekar Pagar Nusa Peguron Sapu Jagad Naik Tingkat


Jakarta, NU Online
Sekitar 100 pendekar Pencak Silat Nahdlatul Ulama Pagar Nusa di Peguron Sapu Jagat telah menguasai jurus-jurus di tingkatanya masing-masing, sehingga mereka naik kelas ke tingkat selanjutnya.

Para pendekar itu dilantik dengan penyematan tanda anggota Pagar Nusa oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Pagar Nusa Aizzudin Abdurrahman di Gedung Pariwisata Balekambang, Kramat Jat, Jakarta Timur, Sabtu malam (25/1).

Guru Besar Peguron Pencak Silat Sapu Jagat Gus Yusuf Cokro Santri, mengatakan 100 peserta itu terdiri dari tingkat dasar yang masuk ketingkat pertama dan tingkat pertama yang masuk ke tingkat kedua. “Di tingkat dasar pengenalan jurus-jurus elementer Pagar Nusa atau istilahnya pencak silat sebagai busaya,” katanya kepada NU Online

Di Peguron Silat Sapu Jagad, kata Gus Cokro, diwajibkan menguasai jurus-jurus Pagar Nusa. Di samping itu ada jurus-jurus tersendiri yang merupakan kreasai peguron tersebut.

Gus Cokro lebih lanjut menerangkan, dari 100 pendekar itu, ada 20 peserta pendidikan dan latihan untuk melatih. Mereka berasal dari Lampung. “Di Lampung Peguron Sapu Jagat memiliki 15 cabang. 20 orang berlatih jurus-jurus sesuai KTSP Pagar Nusa,” tambahnya.

Menurut Gus Cokro, anak-anak muda sekarang masih meminati seni bela diri pencak silat, “Dari 100 peserta itu mulai dari usia SD sampai perguruan tinggi,” katanya.

Ia juga menerangkan dari 100 pendekar itu 30 orang di antaranya adalah mahasiswa dan mahasiswi Thaliand yang sedang belajar di Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama, Kedoya Jakarta Barat. (Abdullah Alawi)

Gus Cokro ST: Pencak Silat Pagar Nusa Peguron Sapujagad







 

Gus Cokro ST: The Power of Sedekah!

Gus Cokro ST
Sering kali, kita beranggapan sedekah hanya berguna bagi penerima. Jarang disadari sedekah berfaedah juga bagi pelakunya. Secara rohani, sedekah menjadi sarana penyucian diri dari dosa dan sifat kikir. Allah berfirman, ''Ambillah sedekah (zakat) dari sebagian harta mereka. Dengan sedekah, kamu membersihkan dan menyucikan mereka.'' (QS Attaubah [9]: 103).

Secara sosial, sedekah memupuk solidaritas dan pemberdayaan harkat ataupun martabat kaum lemah, fakir, miskin, dan yatim (baik dalam pengertian nasab maupun sosial, yaitu mereka yang tidak punya pekerjaan). Kalangan ekonomi tertinggal banyak terbantu, seperti mempercepat pemerataan kesejahteraan yang mampu menekan angka kriminalitas secara signifikan.

Sedekah akan berfungsi sebagai neraca keadilan yang menjembatani ketimpangan sosial di tengah masyarakat. Kondisi lingkungan sosial tidak sehat bila orang kaya menghabiskan uang puluhan juta rupiah untuk hiburan, sementara banyak orang miskin tidak makan tiga hari tiga malam. Urwah bin Zubair menyindir, bila orang kaya tidak dermawan, lantas apa bedanya dengan orang miskin?

Belum lagi, adanya fakta seorang ibu tega membunuh anaknya karena lapar. Jika kita melek sedekah dan sadar masih banyak tetangga miskin, semua berita tragis itu tidak perlu terjadi. Makna etimologis sedekah sejajar dengan arti keimananan (ashshidqu), yaitu upaya membenarkan keimanan dengan perbuatan. Termasuk, keimanan palsu jika seseorang mengaku mukmin, tetapi tidak dermawan. Rasulullah bersabda, ''Perilaku dermawan, bukti keimanan.'' (HR Muslim). Sebaliknya, Allah mengecam orang yang menghardik pengemis dan anak yatim sebagai mendustakan agama dan keimanan (QS Alma'un [107]: 1-3).

Ingatlah, ada janji besar bagi mereka yang suka meringankan beban orang lain. Sabda Rasulullah SAW, ''Barang siapa meringankan seorang mukmin dari kesulitan dunia, Allah kelak meringankannya dari kesulitan hari kiamat.'' (HR Muslim).

Kesenjangan tidak akan menganga lebar apabila lahir orang-orang dermawan yang mau menyisihkan harta guna membantu yang berkekurangan. Kedudukan orang dermawan begitu mulia di hadapan Allah. Mereka yang suka bersedekah di kala senang dan susah, mereka itulah orang yang dijanjikan Allah dengan ampunan dan surga seluas hamparan langit dan bumi (QS Alimran [3]: 133-134).
 
 
 

Gus Cokro ST: Penghalang Antara Kita dan Surga

Setiap orang pasti mendambakan masuk surga. Dan, surga terbuka bagi siapa saja yang mau melakukan berbagai amalan ahli surga. Kenyataannya, tidak sedikit orang yang menginginkan masuk surga, tapi tidak melakukan amalan ahli surga. 

Justru, ia malah sibuk melakukan amalan ahli neraka. Dan, akhirnya ia terhalang untuk masuk surga, naudzubillah min dzalik. Oleh karena itu, setiap kita harus mengetahui amalan apa saja yang dapat menjadi penghalang masuk surga. Lalu, kita berusaha meninggalkannya.

Amalan penghalang masuk surga itu, di antaranya, pertama memakan harta riba. Allah SWT berfirman, “ …orang yang kembali (mengambil riba) maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.” (QS al-Baqarah [2]: 275).

Kedua, memakan harta anak yatim. “Sesungguhnya, orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (QS an-Nisa’ [4]: 10).

Ketiga, meninggalkan shalat. “Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud, maka mereka tidak kuasa (dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan, sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud dan mereka dalam keadaan sejahtera.” (QS al-Qalam [68]: 42-43).

Keempat, suka menggunjing. “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purbasangka karena sebagian dari purbasangka itu dosa. Dan, janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka, tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan, bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya, Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.” (QS al-Hujurat [49]: 12).

Kelima, pemimpin yang menipu rakyatnya. Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang diberikan urusan oleh kaum Muslimin (sebagai pemimpin), lalu ia mengeksploitasi kekayaan mereka, kebutuhan mereka, kesulitan mereka, dan juga kemiskinan mereka niscaya Allah akan menghalanginya pada hari kiamat dari kekayaannya, kebutuhannya, kesulitannya, juga kemiskinannya.” (HR Abu Dawud).

Keenam, melakukan tindak korupsi. “Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.” (QS Ali Imran [3]: 161).

Dan, yang ketujuh berlaku kikir. Rasulullah bersabda, “Peliharalah diri kalian dari kezaliman karena itu adalah kegelapan pada hari kiamat. Peliharalah diri kalian dari kekikiran karena akan menjadikan umat sebelum kalian binasa. Kekikiran menjadikan mereka mudah menumpahkan darah dan menghalalkan semua hal yang dilarang Allah.” (HR Muslim).
Semoga Allah menjauhkan diri kita dari amalan-amalan yang menjadi penghalang masuk surga. Amin.

Gus Cokro ST: Keagungan Muhammad SAW

Dalam al-Qur’an, tidak ada seorang nabi yang dipuji begitu tinggi, melebihi Nabi Muhammad SAW. Dalam satu ayat, Nabi SAW disebut sebagai teladan yang baik (uswah hasanah), yakni tokoh identifikasi atau dalam bahasa sekarang dinamakan model peran, role model (QS. Al-Ahzab [33]: 29.

Dalam ayat yang lain, tidak tanggung-tanggung, Allah SWT menyebut Baginda Rasul sebagai manusia dengan pribadi yang benar-benar agung. (QS. Al-Qalam [68]: 4). Mungkin ada yang bertanya, dari mana keagungan itu dicapai oleh Nabi SAW?

Keterangan dalam al-Qur’an surah al-An`am bisa menjadi kunci jawabannya. Dalam surah ini, diceritakan nabi-nabi terdahulu, mulai dari Nuh, Ibrahim, Ya`qub, Yusuf, dan lain-lain. Pendeknya, ada 18 Nabi dikemukakan di situ.

Pada ayat ke-90, setelah cerita nabi-nabi itu, lalu Allah menegaskan: “Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka.” (QS. Al-An`am [6]: 90). Para Nabi dan Rasul Allah itu adalah mereka yang mendapat bimbingan dari Allah.

Mereka, dengan keistimewaan masing-masing, tak ubahnya bintang-bintang yang menerangi dan mencerahkan alam dan kehidupan. Nabi Muhammad SAW, sebagai pamungkas para nabi,  diperintahkan oleh Allah agar mengikuti dan meneladani mereka.

Maka Ikutilah petunjuk mereka,” firman-Nya. Jadi, Baginda Rasul mewarisi kemuliaan dan keistimewaan nabi-nabi terdahulu, sehingga membentuk akumulasi keagungan yang benar-benar agung.    

Abbas Mahmud Aqqad, dalam `Abqariyyatu Muhammad, menilai keagungan Nabi SAW itu  bena-benar sempurna, karena terjadi dalam segala ukuran, baik menurut ukuran agama, ilmu pengetahuan, dan ukuran kehalusan rasa dan keluhuran budi pekerti.

Bahkan, keagungan Nabi SAW diakui oleh orang-orang yang berbeda agama. Jadi, keagungan Nabi SAW diafirmasi bukan hanya oleh sahabat dan para pengikutnya, melainkan juga oleh lawan dan orang-orang yang memusuhinya.

Pada bagian akhir bukunya, Aqqad kembali menunjukkan keagungan Baginda Rasul dengan menunjukkan beberapa karakter atau kualitas yang menjadi kekuatannya.

Aqqad menyebutnya al-thba’i` al-Arba` (empat karakter) yang amat menonjol pada diri Nabi SAW, yaitu karakter ibadah (thabi`at al-ibadah), karakter berpikir (thabi`at al-tafkir), karakter berkomunikasi (thabi`at al-ta`bir), dan karakter kerja dan berjuang (thabi`at al-`amal wa al-harakah).

Empat tabiat (karakter) ini, diakui Aqqad, jarang menyatu pada diri seorang. Menurut ghalibnya,  apabila satu karakter kuat (dominan), maka karakter lainnya lemah. Sebagai contoh, ada orang yang kuat ibadahnya, tetapi lemah pikirannya. Ada juga yang sebaliknya, ibadah rajin, tetapi malas berpikir.

Keagungan Nabi SAW tampak nyata dan memperoleh dukungan amat kuat baik dalam Alqur’an maupun dalam sejarah, sehingga tak seorang pun dapat menyangkalnya.

Sampai-sampai filosof Muslim asal Pakistan, Muhammad Iqbal pernah berkata: “Orang boleh jadi tak percaya kepada Tuhan, tetapi ia tak mungkin inkar kepada keberadaan dan kebesaran Nabi Muhammad SAW.” 


Gus Cokro ST: Maulid Nabi, Moment Kembali ke Teladan Sejati

Tak terasa beberapa hari lagi kita akan memasuki bulan Rabiul Awal. Pada bulan itu umat Islam memperingati hari kelahiran Nabi akhir zaman yaitu Nabi Muhamad SAW sebagai pembawa risalah kebenaran.

Maulid Nabi adalah momentum  penting dan berarti bagi kita, untuk mengaktualkan dan mengimplementasikan nilai-nilai Islam, sebagai uswahtul khasanah atau teladan yang baik bagi kita semua.

Dasar awal Islam menjunjung tinggi nilai-nilai universal, seperti keadilan, keadaban, kesantunan, dan toleransi. Islam menjunjung tinggi pengakuan dan penghormatan kepada seluruh masyarakat tanpa membedakan ras, warna kulit, jenis kelamin dan bahasa. Dalam agama Islam, manusia hanya sebagai hamba Allah SWT, yang diberi anugerah akal dan fikiran untuk menjadi manusia yang berakhlak mulia.

Akhlak yang berisi nilai-nilai ketauhidan, nilai-nilai kebenaran dan kesucian serta nilai-nilai rahmatan lil alamin; rahmat bagi semesta alam. Nilai rahmatan lil alamain yang akan menghancurkan rasa iri, dengki, fitnah dan kemunafikan di tubuh umat Islam.

Ketika nilai-nilai ini diimplementasikan maka sangat diyakini akan terbangun hati-hati yang penuh rasa kekeluargaan, rasa kebersamaan sesama insan, tanpa memandang suku, latarbelakang ekonomi atau pun lainnya, di tubuh umat Islam. Jadi momentum Maulid Nabi tidak hanya membangun kesalehan pribadi, namun juga menciptakan kondisi kesalehan sosial.

Perbedaan yang ada jangan dilihat sebagai permasalahan, tetapi sebagai rahmat Allah SWT. Karena, manusia diciptakan Allah SWT dari seorang laki-laki (Adam AS) dan perempuan (Siti Hawa), kemudian menjadi bersuku-suku, berbangsa-bangsa dan berlainan bahasanya.

Beranekaragam manusia bertujuan agar manusia satu dengan manusia lainnya saling kenal mengenal dan saling tolong menolong. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam Surah Al-Hujuraat ayat 13, dimana artinya:  “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah SWT ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.”

Ayat di atas membuktikan, sebagai manifestasi kesalehan individual dan sosial, momentum peringatan Maulid Muhammad sesungguhnya menjadi sangat penting ketika mampu menciptakan kondisi kondusif untuk terjadinya perubahan demi terciptanya masyarakat yang egaliter, toleran, dinamis dan beradab. Nilai-nilai muamalah (kemanusiaan) yang dibawa Nabi Muhammad merupakan bukti bahwa nilai-nilai Islam tidak hanya untuk sektor keagamaan semata, akan tetapi juga mampu menjadi solusi terhadap problematika sosial.

Implementasi nilai-nilai yang dibawa dalam peringatan Maulid Nabi menjadi sangat penting untuk menjaga kondusivitas tatanan bermasyarakat muslim Indonesia. Sikap tidak toleran, tindakan kekerasan apalagi terorisme, dan berbagai perilaku yang menyimpang dan penuh kemaksiatan patut dijauhkan.

Maulid Nabi juga merupakan momentum untuk membangkitkan kembali roh Masyarakat Madani.  Roh yang terkandung dalam Masyarakat Madani adalah masyarakat yang berakhlak mulia. Masyarakat yang mengaktualisasikan dan mengimplementasikan nilai-nilai Islam, sebagai uswahtul khasanah. Masyarakat yang mengutamakan kesalehan sosial di atas kesalehan pribadi. Masyarakat yang selalu terjaga dari perilaku-perilaku negatif. Masyarakat yang hukumnya sudah ditegakkan, dan masyarakat yang jauh dari nilai-nilai kemunafikan.


Gus Cokro ST: Monggo Nyelengi Sangu Mati

Gus Cokro ST
Disadari atau tidak, manusia itu ibarat musafir yang sedang melakukan perjalanan jauh. Bedanya, perjalanan manusia itu untuk menuju Allah SWT dan kampung akhirat. Manusia datang dari Allah. Hidup di dunia karena Allah. Ujungnya, kembali lagi di hadapan Allah.

Lantas, untuk apa kita hidup di dunia? Hidup di dunia adalah bagian dari ujian di awal perjalanan manusia. Sisanya adalah menjadi tanah di dalam kubur. Dan, akhir perjalanannya berakhir di hadapan Allah. Lalu, sudah siapkah kita untuk menghadap Allah?

Kematian itu rahasia yang tak seorang pun mengetahui, kecuali Allah dan malaikat-Nya. Ketika, tiba-tiba nyawa lepas dari jasad kita, apakah kita sudah siap mempertanggungjawabkan hidup yang kita jalani di dunia?

Hidup yang selama ini kita tempuh merupakan ujian untuk membedakan mana manusia yang baik dan buruk amalnya. Dan, jelas balasannya berbeda jauh. Manusia yang baik jaminannya surga. Manusia yang buruk, siap-siap saja masuk neraka.

Maka, hidup di dunia sejatinya adalah ladang mencari bekal-bekal terbaik untuk menghadap Sang Pencipta. Ada sejumlah bekal yang harus dipersiapkan manusia. Pertama, bekal utama kita untuk menghadap Allah adalah takwa.

Allah berfirman, “Dan siapkanlah bekal karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (al-Baqarah: 197). Takwa merupakan bekal yang sangat diperlukan manusia. Tanpa takwa, Allah tidak rela memberikan pertolongan kepada hamba-Nya.

Tanpa takwa, Allah tidak akan menerima amalan hamba-Nya. Takwa juga merupakan syarat keberhasilan usaha di dunia dan keselamatan di akhirat kelak.

Kedua, bekal kita adalah ilmu. Allah berfirman, “Sesungguhnya, yang takut kepada Allah dari para hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu.” (Fathir: 28). Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim.

Kalau kita enggan belajar akan membuat kerusakan, tidak membuat perbaikan, tidak bermanfaat, tapi justru merugikan, tidak menang, tapi pasti kalah dan tersesat. Apalagi, orang yang rajin beramal sekalipun tanpa disertai ilmu, seperti orang berjalan bukan pada jalannya.

Jangan sampai, amalan yang kita lakukan berbuah sia-sia tanpa dasar ilmu. Ketiga, bekal kita adalah tawakal. Allah berfirman, “Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya dia akan mencukupinya.” (ath-Thalaq: 3).

Tawakal akan menanamkan kepada hati kesungguhan dalam menggantungkan diri kepada Allah. Manusia hanya bisa berusaha dan berdoa, segala sesuatunya Allah yang menentukan. Maka, biarkan Allah yang mencukupi kita selama hidup di dunia.

Keempat, bekal selanjutnya adalah syukur. Allah berfirman, “Mengapa Allah akan menyiksa kalian kalau kalian bersyukur dan beriman?” (an-Nisa: 147).

Bentuk rasa syukur itu meliputi syukur dengan lisan, hati, dan dengan tindakan kita. Ingat, sesungguhnya nikmat-nikmat itu akan lestari karena syukur dan akan hilang dengan kufur.

Kelima, bekal kita adalah sabar. Allah berfirman, “Sesungguhnya, Allah itu menyertai orang-orang yang sabar.” (al-Baqarah: 153). Apa pun profesinya, manusia sangat memerlukan kesabaran. Seorang guru tentu memerlukan kesabaran dalam mengajar anak didiknya.

Begitu juga dengan profesi yang lain. Bahkan, orang yang tertimpa musibah juga harus senantiasa bersabar. Jadikanlah sabar sebagai penolong kita karena yakinlah Allah bersama dengan orang-orang yang sabar terhadap ujian hidup di dunia.

Keenam, bekal yang lain adalah zuhud (tidak mencintai dunia). Rasulullah SAW bersabda “Zuhudlah terhadap dunia, niscaya Allah mencintaimu dan janganlah mencintai apa yang dimiliki manusia, niscaya manusia mencintaimu!” (HR Ibnu Majah)

Terakhir, bekal kita adalah itsarul akhirah (mengutamakan akhirat). Sebagaimana Allah berfirman, “Barangsiapa menghendaki akhirat dan mengusahakan bekal untuknya sedangkan dia beriman maka mereka itulah yang dibalas usaha mereka.” (al-Isra’: 19)

Inilah bekal yang harus kita persiapkan sebelum nantinya Allah memanggil kita untuk menghadap-Nya. Yakinlah, inilah bekal yang menolong kita dalam memikul beban kewajiban syariat dalam kehidupan dunia ini.


Gus Cokro ST: Hal-hal yang Jadi Penghalang Antara Kita dan Surga

Gus Cokro ST
Setiap orang pasti mendambakan masuk surga. Dan, surga terbuka bagi siapa saja yang mau melakukan berbagai amalan ahli surga. Kenyataannya, tidak sedikit orang yang menginginkan masuk surga, tapi tidak melakukan amalan ahli surga.

Justru, ia malah sibuk melakukan amalan ahli neraka. Dan, akhirnya ia terhalang untuk masuk surga, naudzubillah min dzalik. Oleh karena itu, setiap kita harus mengetahui amalan apa saja yang dapat menjadi penghalang masuk surga. Lalu, kita berusaha meninggalkannya.

Amalan penghalang masuk surga itu, di antaranya, pertama memakan harta riba. Allah SWT berfirman, “ …orang yang kembali (mengambil riba) maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.” (QS al-Baqarah [2]: 275).

Kedua, memakan harta anak yatim. “Sesungguhnya, orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (QS an-Nisa’ [4]: 10).

Ketiga, meninggalkan shalat. “Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud, maka mereka tidak kuasa (dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan, sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud dan mereka dalam keadaan sejahtera.” (QS al-Qalam [68]: 42-43).

Keempat, suka menggunjing. “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purbasangka karena sebagian dari purbasangka itu dosa. Dan, janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka, tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan, bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya, Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.” (QS al-Hujurat [49]: 12).

Kelima, pemimpin yang menipu rakyatnya. Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang diberikan urusan oleh kaum Muslimin (sebagai pemimpin), lalu ia mengeksploitasi kekayaan mereka, kebutuhan mereka, kesulitan mereka, dan juga kemiskinan mereka niscaya Allah akan menghalanginya pada hari kiamat dari kekayaannya, kebutuhannya, kesulitannya, juga kemiskinannya.” (HR Abu Dawud).

Keenam, melakukan tindak korupsi. “Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.” (QS Ali Imran [3]: 161).

Dan, yang ketujuh berlaku kikir. Rasulullah SAW bersabda, “Peliharalah diri kalian dari kezaliman karena itu adalah kegelapan pada hari kiamat. Peliharalah diri kalian dari kekikiran karena akan menjadikan umat sebelum kalian binasa. Kekikiran menjadikan mereka mudah menumpahkan darah dan menghalalkan semua hal yang dilarang Allah.” (HR Muslim). Semoga Allah menjauhkan diri kita dari amalan-amalan yang menjadi penghalang masuk surga. Amin.


Gus Cokro ST: Bahagialah dengan Ridha Allah

Gus Cokro ST
Fariduddin Attar dalam buku Tadzkiratul Awliya’ pernah bercerita tentang tobatnya seorang zahid dan tabiin bernama Malik bin Dinar al-Sami (wafat pada 130 H atau 748 M). Ia anak seorang budak Persia dari Sijistan (Kabul, Afganistan).

Namun, lelaki tampan ini berhasil membebaskan diri dari perbudakan dan menjadi seorang yang kaya raya. Malik hidup pada masa Bani Umayyah, tepatnya zaman Muawiyah di Damaskus. Saat itu, Muawiyah sedang membangun masjid agung yang anggarannya sangat besar.

Malik tertarik dan sangat ingin ditunjuk sebagai ketua takmir masjid itu. Keinginannya yang kuat mendorong dia menghamparkan sajadahnya di salah satu sudut masjid dan tampak khusyuk beribadah. Ia berharap, orang lain menganggapnya sebagai orang saleh.

Anehnya, pada malam hari ia meninggalkan masjid dan mencari hiburan di luar tanpa sepengetahuan orang-orang sekitar. Begitulah yang ia lakukan selama beberapa waktu lamanya.

Suatu malam, saat ia sedang menikmati alunan musik yang ia mainkan, tiba-tiba ia dikejutkan suara hatinya, “Malik, mengapa engkau tidak bertobat?” Mendengar suara hatinya, ia langsung menjatuhkan alat musiknya. Malik berlari ke sudut masjid yang biasa ia tempati.

“Setahun penuh aku telah menyembah Tuhan secara munafik. Tidakkah lebih baik aku beribadah dengan ikhlas? Aku malu. Aku tidak akan menerima tawaran menjadi ketua takmir masjid meski mereka menunjukku.”

Malam itu, Malik sudah tidak lagi beribadah seperti hari-hari sebelumnya. Keesokan harinya, melihat perlunya seorang ketua takmir yang akan mengurus kemakmuran masjid, para jamaah dan pejabat kota pun menghampiri Malik.

Kebetulan, Malik sedang shalat. Mereka menunggu dengan sabar. Saat Malik selesai shalat, mereka mengatakan, “Maaf mengganggu. Setelah bermusyawarah, kami sepakat menunjukmu sebagai ketua takmir masjid agung ini.”

Malik tertunduk, meneteskan air mata. “Ya Allah, aku beribadah kepadamu secara munafik sepanjang tahun dan tidak ada seorang pun yang memperhatikanku. Sekarang, ketika baru satu malam saja aku memberikan seluruh hatiku kepada-Mu dan memutuskan tidak menerima jabatan itu, Engkau mengutus 20 orang kepadaku untuk mengikatkan tugas itu di leherku. Demi keagungan-Mu, aku tidak menginginkannya.”

Pengalaman Malik bin Dinar ini menggambarkan tentang kegelisahan hati orang yang hanya mencari simpati manusia (riya) dan kebahagiaan saat berada dalam dekapan ridha Allah SWT (ikhlas). Jika boleh diibaratkan, ikhlas dan riya itu seperti antara pilihan akhirat dan dunia.

Bagaikan menanam padi di sawah, petani yang menanam padi akan mendapatkan pula rumput yang tumbuh di sekeliling padi. Tetapi, tidak ada ceritanya seseorang yang menanam rumput akan tumbuh pula padi di sekitarnya.

Padi yang ditanam adalah keikhlasan dan akhirat, sementara rumput yang tumbuh berserakan adalah riya dan dunia. Seseorang yang ikhlas akan memperoleh ridha Allah di akhirat dan sangat mungkin mendapatkan pujian dari manusia, meski ia tak menginginkannya.

Sebaliknya, seseorang yang berbuat riya tidak akan mendapatkan apa pun kecuali pandangan dan mungkin pujian atau simpati di dunia sekaligus mendapat murka dari Allah. Riya tidak jauh dari cara manusia menduakan atau menyekutukan-Nya.

Rasulullah bersabda, “Ketahuilah, Zat yang kamu bersedekah karena-Nya secara rahasia akan membalasmu secara terang-terangan di hadapan jutaan orang pada hari ketika tidak lagi berguna pujian manusia.”

Sebaliknya, Nabi mengingatkan, “Janganlah engkau bersedekah di hadapan khalayak karena bermaksud mencari pujian dari manusia. Bersedekahlah sehingga tangan kananmu yang memberi dan tangan kirimu tidak mengetahuinya.” (HR Bukhari).

Mencari perhatian, simpati, dan pujian manusia terlalu sering mengecewakan diri kita. Di samping tidak akan berguna bagi hidup kita di akhirat, juga terlalu kecil nilai kemanusiaan itu dibandingkan dengan rahmat dan ridha Allah. Mari kita tautkan hati dan kebaikan kita hanya kepada Allah. Wallahu a’lamu bi al-shawab.