Antara Kita dan Waktu

Waktu merupakan salah satu nikmat Allah yang paling berharga yang dianugerahkan kepada para hamba-Nya.

Dalam Alquran disebutkan bahwa manusia itu akan mengalami kehancuran jika tidak memanfaatkan waktunya untuk kebaikan, sebagaimana firman Allah, “Dan demi masa. Sesungguhnya manusia itu dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, dan saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran.” (QS al-'Ashr [103]: 1-3).

Imam Fakhrurrazi dalam tafsirnya tentang surah al-'Ashr tersebut menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-'Ashr itu adalah waktu atau masa. Masa adalah sesuatu yang sifatnya sangat unik dan mengagumkan. Beragam kisah anak manusia terjadi silih berganti pada lintas generasi.

Kualitas kehidupan seorang anak manusia sangat tergantung dari caranya memanfaatkan waktu. Hidupnya akan berarti dan bernilai jika ia dapat memaksimalkan peran waktu di kehidupannya. Sebaliknya, kerugian dan kegagalanlah yang akan diperoleh saat dia menyia-nyiakan waktu yang dilaluinya.

Rasulullah SAW dalam hadisnya menjelaskan tentang urgensi waktu sebagai berikut,  “Ada dua jenis nikmat yang sering kali dilalaikan kebanyakan orang, yaitu nikmat sehat dan waktu luang.” Kedua nikmat ini merupakan anugerah tak terhingga dari Allah SWT  yang harus dimanfaatkan secara maksimal.

Terkait interpretasi dari hadis ini, Ibnul Jauzi menjelaskan, terkadang seseorang berada dalam kondisi sehat tapi tidak mempunyai waktu luang akibat tersita oleh pekerjaan dan urusan duniawi lainnya.

Sebaliknya saat seseorang mempunyai waktu luang namun tetap tidak bisa memanfaatkannya karena kondisi kesehatannya yang buruk sehingga waktu luang pun akan berlalu dengan sia-sia.

Dengan demikian, usia pada dasarnya tidaklah bernilai apa-apa dalam kehidupan ini, karena sebenarnya yang berharga itu adalah value dari pemanfaatan waktu. Value inilah yang akan membuat usia seseorang memiliki makna dan kualitas.

Seorang yang menyia-nyiakan puluhan tahun dari usianya, namun di saat-saat terakhirnya ia bertobat dan berbuat kebaikan maka kualitas usianya itu hanya di penghujung usianya saja. Ini menguatkan pernyataan dari ayat yang disebutkan sebelumnya.

Menarik sekali pernyataan dari Imam Syafi'i yang mengatakan bahwa selama dia bergaul dengan para ahli sufi, hanya dua pernyataan yang selalu dia dengar dari mereka, yaitu “Waktu itu ibarat pedang, jika kau tidak membunuhnya (waktu) maka dialah yang akan membunuhmu.”

Pernyataan lainnya, “Dan waktumu... jika tidak kau pergunakan untuk kebaikan maka dia akan menyibukkanmu dengan kejahatan.” Wallahu a'lam bish shawwab.

Warisan dan Peninggalan dari Ramadan Kemarin

Tamu agung itu telah pergi. Kita tidak tahu apakah tahun depan masih dipertemukan kembali atau tidak. Ya, bulan suci Ramadhan telah berlalu. Kini Syawal telah tiba. Harapan apa yang hendak diraih di bulan Syawal hingga bulan-bulan selanjutnya setelah kita digodok sebulan penuh di bulan Ramadhan?

Kita tidak ingin nuansa Ramadhan menjadi pudar. Untuk itu, spirit Ramadhan mesti kita jaga dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai kita terlena kembali oleh hiruk-pikuk dunia sehingga melupakan apa yang sudah kita bangun pada bulan Ramadhan.

Kita masih ingat bagaimana menyambut Ramadhan dengan antusias. Pada siang hari menahan lapar dan haus  serta menjaga dari hal-hal buruk. Selama Ramadhan kita bersemangat ibadah Tarawih dan tadarus Alquran. Kita juga rela bangun pukul tiga dini hari untuk sahur. Apakah antusiasme dan keseriusan itu masih ada di bulan ini?
 
Bulan suci Ramadhan memberikan tiga warisan penting yang perlu kita pegang erat-erat dalam keseharian kita. Pertama, Alquran. Ramadhan adalah bulan diturunkannya Alquran. Rasulullah SAW dan para sahabat memberikan teladannya. Mereka begitu rajin membaca Alquran hingga beberapa kali khatam. Kita juga di bulan Ramadhan melakukan tadarus setiap hari yang lain dari biasanya.

Kebiasaan ini selayaknya dipertahankan di bulan-bulan selanjutnya. Sebagai petunjuk, Alquran tidak hanya dibaca tetap juga diamalkan segala perintah serta larangan yang tertera di dalamnya. Firman Allah: “Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil) ...” (QS al-Baqarah: 185).
 
Kedua, shalat. Pada bulan Ramadhan juga intensitas shalat begitu meningkat. Hal ini disebabkan semua amalan akan dilipatgandakan, sehingga memacu kita untuk melaksanakan shalat-shalat sunah. Paling tidak kita melaksanakan shalat sunah Tarawih sebelas rakaat ataupun 23 rakaat. Selayaknya amalan shalat sunah itu tetap dilakukan di bulan-bulan selanjutnya sebagai tanda keberhasilan kita di bulan Ramadhan.

Ketiga, infak. Pada bulan Ramadhan, kita juga dengan mudah memberi, mulai dari yang sunah seperti berinfak, menyantuni fakir-miskin, memberi iftar, hingga yang wajib, yaitu zakat fitrah dan zakat mal. Kebiasaan memberi ini sepatutnya dipertahankan dan terus dilestarikan di bulan-bulan berikutnya.

Ketiga hal di atas merupakan warisan berharga dari bulan Ramadhan yang mesti kita jaga dan amalkan terus-menerus dari bulan ke bulan hingga Ramadhan datang kembali di tahun berikutnya. Maka, dengan demikian,  kita bisa mencapai predikat manusia fitri, yang berhasil mengimplementasikan spirit Ramadhan di setiap bulannya.

Bukan tidak mungkin apabila implementasi ini muncul dari kesadaran kolektif, kaum Muslim betul-betul mencapai umat terbaik (khairu ummah) dan umat terpilih (ummatan wasathan).
 
Hal ini senada dengan firman Allah SWT, “Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi” (QS Fathir: 29).
 
Mudah-mudahan di bulan Syawal ini dan bulan-bulan berikutnya kita terus mengamalkan tiga warisan Ramadhan di atas.

Kedahsyatan Efek Fitnah

Sebuah peristiwa terjadi ketika rombongan Rasulullah SAW beserta sahabat kembali dari perang melawan Bani Mushtaliq pada Sya’ban tahun ke-5 H. Beberapa orang munafik juga turut serta dalam peperangan ini.

Kisah bermula ketika dalam perjalanan pulang, rombongan Muslimin berhenti di suatu tempat. Aisyah RA, istri Rasulullah SAW, yang ikut dalam rombongan, keluar dari sekedup. Kalungnya hilang.

Lama mencari, perhiasan dari mutiara zifar itu tak juga ketemu. Ketika Aisyah kembali ke sekedupnya, rombongan sudah berangkat. Penanggung jawab sekedup pasti mengira bahwa Aisyah masih berada di dalamnya.

Menyadari dirinya tertinggal, Aisyah lantas duduk diam di tempat semula. Dia berharap, ada anggota rombongan yang berbalik untuk menjemputnya. Lelah menunggu, akhirnya Aisyah mengantuk dan tertidur. Pada saat bersamaan, lewatlah seorang sahabat bernama Shafwan bin Muaththal as-Sulami. Shafwan memang bertugas sebagai anggota pasukan paling belakang.

Melihat Aisyah sendirian di pinggir jalan, Shafwan terkejut seraya mengucapkan, “Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun, istri Rasulullah!” Aisyah terbangun. Shafwan langsung memberikan untanya untuk dikendarai Aisyah. Dia sendiri berjalan kaki menuntun unta sampai tiba di Madinah.

Nahas. Peristiwa itu diketahui orang munafik. Desas-desus pun muncul. Dasar orang munafik, selalu ada cara untuk menjatuhkan reputasi Rasulullah yang memang menjadi incaran sejak lama.

Ummul Mukminin, Aisyah, difitnah berselingkuh dengan Shafwan. Adalah orang munafik bernama Abdullah bin Ubai bin Salul yang paling getol menggencarkan fitnah keji bahwa Aisyah ada afair dengan Shafwan. Terang saja, fitnah segera menyebar ke seantero kota.

Fitnah itu menjadi buah bibir di kalangan penduduk Madinah selama kira-kira sebulan. Jangankan Muslimin pada umumnya, bahkan Rasulullah sendiri sempat terpengaruh. Karena termakan tuduhan murahan itu, dikabarkan Rasulullah sampai menunjukkan perubahan sikap kepada Aisyah. Tentulah hati Aisyah hancur. Dia tidak berhenti menangis dan jatuh sakit.

Tabir fitnah baru tersingkap ketika turun surah an-Nur ayat 11-26. Nama Aisyah dan Shafwan kembali bersih. Kini, semua benderang sudah. Peristiwa itu menunjukkan betapa dahsyatnya bahaya fitnah. Istilah yang dipakai oleh Allah dalam Alquran untuk mendefinisikan fitnah ialah buhtan (kebohongan besar). (QS al-Ahzab [33]: 58).

Akibat badai fitnah, hidup seseorang bisa sengsara. Keluarga kehilangan muka. Karier dan jabatan yang dibangun puluhan tahun lenyap seketika. Kepercayaan mendadak sirna. Kita berdoa semoga diselamatkan oleh Allah SWT dari segala fitnah yang menghinakan.

Segenap daya, kita juga berupaya agar jangan sampai termasuk golongan penebar fitnah. Di antara caranya ialah menghindari gibah. Sungguh lisan terasa ringan digerakkan untuk bermaksiat kepada Allah, tetapi betapa berat untuk diajak berzikir kepada Allah.

Banyak sekali faktor yang bisa mendorong manusia untuk berbuat kesalahan. Terkadang dorongan itu datang dari dalam diri sendiri dan terkadang dari luar. Berbahagialah orang yang mengoreksi kelemahan dirinya.

Sebab, kata Abu ad-Darda, “Termasuk wujud ilmu seorang hamba adalah dia mengetahui imannya bertambah atau berkurang. Dan, termasuk berkah ilmu seorang hamba adalah dia mengetahui dari mana setan akan menggelincirkannya.”

Ketentuan Berpakaian dalam Islam

Gus Cokro ST
Salah satu misi Islam adalah memuliakan kaum wanita. Bentuk pemuliaan tersebut, di antaranya, melalui perintah menutup aurat, agar terjaga dari pandangan orang lain, sekaligus menghindarkan fitnah.

Allah SWT berfirman, “Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan, pakaian takwa itulah yang paling baik.” (QS al-A’raf [7]: 26).

Pakaian merupakan salah satu nikmat besar yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya. Salah satu cara mensyukuri nikmat pakaian itu adalah dengan mengenakan pakaian sesuai tuntunan-Nya.

Oleh karena itu, Islam memberikan ketentuan dalam mengenakan pakaian. Pertama, menutupi seluruh badan, kecuali wajah dan telapak tangan. Rasulullah SAW bersabda, “Wahai Asma, sesungguhnya perempuan itu apabila telah sampai umur (dewasa), maka tidak patut menampakkan sesuatu dari dirinya melainkan ini dan ini. Rasul berkata sambil menunjukkan pada muka dan telapak tangan hingga pergelangannya sendiri.” (HR Abu Dawud).

Kedua, tidak ketat. Memakai pakaian yang ketat akan menampakkan bentuk tubuh yang ditutupinya. Seseorang yang mengenakan pakaian ketat seakan tidak berpakaian alias telanjang. Sehingga, hal itu dapat memancing syahwat dan menjadi sebab timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan.

Ketiga, tidak tipis. Pakaian yang tipis akan menampakkan warna kulit yang akan semakin memancing syahwat dan melahirkan fitnah.

Keempat, tidak menyerupai pakaian laki-laki dan begitu juga sebaliknya. Sabda Nabi Muhammad SAW, “Allah melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian laki-laki. Allah juga melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki“ (HR Bukhari).

Kelima, tidak berwarna yang mencolok. Sebab, warna yang mencolok dapat menarik perhatian orang lain. Rasulullah SAW terbiasa mengenakan pakaian warna putih, kadang merah, dan terkadang hijau. (HR Bukhari, Nasai, dan Hakim).

Karena itu, saking pentingnya masalah berpakaian agar tidak menimbulkan fitnah, Rasulullah SAW pun mengajarkan doa yang hendaknya dibaca pada setiap akan mengenakan dan melepas pakaian.

Allaahumma innii as-aluka min khairihi wa khairi maa huwa lahu, wa a’uudzubika min syarrihi wa syarri maa huwa lahu” (Ya Allah, aku memohon kepada-Mu kebajikan pakaian ini dan kebajikan yang disediakan baginya. Dan aku berlindung kepada-Mu dari kejahatannya dan kejahatan sesuatu yang dibuat untuknya)”. (HR Ibnu Sunni).

Dengan demikian, jika masing-masing kita berkomitmen menerapkan ajaran agama yang diyakini dalam kehidupan sehari-hari, termasuk komitmen dalam berpakaian, maka tidak akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Wallahu a’lam.

Sebaik-baiknya Sedekah

Gus Cokro ST
Sedekah merupakan amalan sunah yang sangat umum di kalangan umat Islam. Apalagi, pada bulan suci Ramadhan.
Sebagaimana diriwayatkan Imam Bukhari, kala Ramadhan, Rasulullah SAW   lebih dermawan dalam kebaikan daripada angin yang berhembus.

Bahkan, dalam hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad ada tambahan, “Dan beliau tidak pernah dimintai sesuatu kecuali memberikannya.” Artinya, Rasulullah SAW adalah ahli sedekah.

Dan, jika kita perhatikan, ternyata di dalam Alquran, Allah SWT berulang kali memberikan penekanan khusus terkait amal yang bisa memberikan kebahagiaan pada sesama ini.

Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, lalu ia berkata, Ya Rabbku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)-ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?” (QS [63]: 10).

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan maksud ayat tersebut. Menurutnya, seorang Muslim hendaknya tidak berlebih-lebihan dalam soal harta (sehingga menjadi kikir), yang akan menjadikannya menyesal di hadapan Allah.

Sementara itu pada ayat lain, Allah SWT memberikan perintah khusus kepada orang beriman, sebagaimana khsusunya perintah berpuasa ini. “Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafaat.” (QS [2]: 254).

Dengan demikian dapat dipahami, meskipun sedekah merupakan amalan sunah, pada hakikatnya sedekah merupakan perisai bagi umat Islam untuk menolak segala macam keburukan di dunia dan akhirat.

Dari sini dapat ditemukan alasan logis mengapa kala Ramadhan Rasulullah SAW lebih dermawan dibandingkan dengan angin yang berhembus.

Ternyata, sedekah sangat efektif untuk menyelamatkan masa depan kita yang sesungguhnya, yakni kelak pada hari akhir kala berjumpa dengan Allah SWT.

Jadi, sangat pantas jika suatu ketika ada seorang laki-laki menemui Rasulullah SAW, lantas bertanya tentang sedekah terbaik (yang paling besar pahalanya).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dia mengatakan, “Datang seorang laki-laki dan berkata kepada Nabi, Wahai Rasulullah, sedekah apakah yang paling utama (terbaik)?

Nabi SAW bersabda, “Engkau bersedekah dan engkau dalam keadaan sehat dan sangat menginginkan, engkau takut kefakiran dan menginginkan kekayaan, dan janganlah engkau lalai. Hingga apabila (napas) telah sampai di kerongkongan, engkau berkata: Untuk fulan sekian dan untuk Fulan sekian, dan telah menjadi milik Fulan!” (HR Bukhari).

Artinya, sedekah yang paling utama itu ialah ketika kita dalam kondisi sangat berhajat terhadap harta, lantas kita merelakannya untuk orang lain demi membantu sesama atau tegaknya agama Allah.
Terhadap siapa saja umat Islam yang mampu melakukan hal tersebut maka insya Allah baginya surga seluas langit dan bumi (QS [3]: 133-134).

Dengan demikian, seorang Muslim tidak semestinya berkeluh kesah meskipun dalam kesempitan. Sebab, sedekah dalam kesempitan adalah sebaik-baik sedekah.