Gus Cokro ST: Melatih Kedermawanan

Sumu tasihhu, berpuasalah maka kamu akan sehat. Demikian pesan yang pernah disampaikan Rasulullah SAW untuk umatnya.

Pesan agar ‘sehat’ ini tentu bersifat makro, tak terbatas hanya pada kesehatan badan (jasmani) saja, tapi juga kesehatan secara ruhani. Sehat secara ruhani berarti sehat secara mental dan spiritual baik saat menuju Ramadhan, pada bulan Ramadhan, terlebih setelah selesai Ramadhan.

Pada momen menuju bulan Ramadhan seperti sekarang ini, selain kita dianjurkan untuk menjaga jasmani agar fit saat berpuasa, ruhani menuntun kita untuk berbahagia atas kehadiran bulan Ramadhan.

Selain itu, di saat bulan Ramadhan pula ruhani kita dilatih untuk terbiasa melakukan aktivitas ramadhan seperti tadarus Alquran, qiyamullail, shalat Tarawih, hingga latihan kedermawanan.

Kita semua tentu tahu bahwa hamba yang paling dermawan ialah Rasulullah SAW. Betapa beliau senantiasa membiasakan berbagi tak hanya saat bulan Ramadhan, namun juga di luar bulan Ramadhan.

Pada saat bulan Ramadhan, kedermawanan beliau bertambah karena beliau menyadari betul arti berbagi. Berbagi sejati yang dicontohkan beliau ialah ringan memberi dalam kondisi apa pun, lapang maupun sempit. Berbagi yang menurut pandangan beliau adalah memberi solusi terhadap kesulitan orang lain.

Ada satu hadits yang diriwayat oleh Abu Hurairah RA, ia berkata, “Seorang lelaki datang menemui Nabi SAW dan berkata, ‘Celaka saya, wahai Rasulullah.’ Beliau bertanya, ‘Apa yang membuat engkau celaka?’ Lelaki itu menjawab, ‘Saya telah bersetubuh dengan istri saya di siang hari bulan Ramadan.’

Beliau bertanya, ‘Apakah engkau mempunyai sesuatu untuk memerdekakan seorang budak?’ Ia menjawab, ‘Tidak punya.’ Beliau bertanya, ‘Mampukah engkau berpuasa selama dua bulan berturut-turut?’ Ia menjawab, ‘Tidak mampu.’

Beliau bertanya lagi, ‘Apakah engkau mempunyai sesuatu untuk memberi makan enam puluh orang miskin?’ Ia menjawab, ‘Tidak punya.’ Kemudian ia duduk menunggu sebentar. Lalu Rasulullah SAW memberikan sekeranjang kurma kepadanya sambil bersabda, ‘Sedekahkanlah ini.’

Lelaki tadi bertanya, ‘Tentunya aku harus menyedekahkannya kepada orang yang paling miskin di antara kita, sedangkan di daerah ini, tidak ada keluarga yang paling memerlukannya selain dari kami.’ Maka Rasulullah SAW pun tertawa sampai kelihatan salah satu bagian giginya. Kemudian beliau bersabda, ‘Pulanglah dan berikan makan keluargamu.” (HR Muslim).

Sebenarnya, Rasulullah bisa saja bertindak tegas agar si lelaki tersebut mau berusaha mencari pekerjaan agar bisa melunasi hutangnya pada Allah karena khilaf melakukan hal yang dilarang pada siang hari di bulan Ramadhan. Tapi, sikap Rasul justru sebaliknya, beliau mau mendengarkan, memberi jalan keluar, hingga beliau memberikan juga mengikhlaskan kurma—sesuatu yang amat beliau suka dan gemar dikonsumsi selama hidupnya.

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS al-Baqarah: 261).

Ayat di atas ialah satu dari sekian banyak ayat Alquran yang berbicara perihal ganjaran sedekah dan benar-benar dipraktikkan langsung oleh Rasulullah. Namun, sebagai manusia biasa, memberi sesuatu yang teramat kita sukai memang gampang-gampang susah. Tentu saja, dengan terus menerus melatih diri untuk mudah berbagi, kendati sedikit, tentu hal itu sangat mudah.

Sepatutnya, bulan Ramadhan ialah bulan perubahan. Perubahan diri harus bersifat dinamis dan dimulai sejak dini. Melatih mental dermawan berarti menyiapkan hati untuk menjadi hamba Allah yang senantiasa diliputi keikhlasan, sehingga, puasa Ramadhan kita yang hanya tinggal beberapa hari ini tidak hanya menyehatkan badan, tapi juga menuai banyak keberkahan. Amin. Wallahu a’lam.

Gus Cokro ST: Mempertahankan Rasa Malu

Kebanyakan manusia pada hari ini tidak memiliki malu. Sifat malu ibarat barang langka di tengah-tengah masyarakat.
Sedikit sekali ada yang malu berbuat buruk, malu menggunjing, malu tidak amanah, malu karena malas, dan malu suka bohong.

Kenyataan yang lebih parah, banyak orang membuka aibnya sendiri. Entah itu masa lalunya atau hubungan buruknya dengan istri atau mantan kekasihnya di depan publik. Betapa entengnya mereka menyebut pernah berbuat ini dan itu.

Mereka umbar kekurangan orang lain tanpa sensor. Bahkan, isi dapur rumah sendiri dibongkar habis di hadapan media. Seperti itulah lakon para selebritas akhir-akhir ini.

Al-Imam an-Nawawi berkata, “Para ulama mengatakan malu hakikatnya adalah akhlak yang mengantar seseorang untuk meninggalkan kejelekan dan menghalanginya mengurangi hak-hak orang lain.’’

Sifat malu adalah pembawaan dalam diri seorang yang mendorongnya untuk mengetahui perbuatan buruk, meninggalkan prilaku yang tidak pantas dan kurang layak, serta mencegah diri dari kelalaian memenuhi hak dan kewajiban.

Orang kuat keimanannya kuat pula rasa malu dalam hatinya. Sebaliknya, orang yang lemah keimanannya sedikit rasa malunya. 
Maka jika telah hilang sama sekali rasa malu dalam diri seorang manusia, dikhawatirkan hilang pula rasa malunya.

Rasulullah SAW sangat pemalu. Ini digambarkan Abu Sa’id Al-Khudri, “Rasulullah lebih pemalu daripada gadis dalam pingitannya. Bila beliau tidak menyukai sesuatu, kami bisa mengetahuinya pada wajah beliau.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Dalam riwayat lain, beliau menegaskan, “Malu itu kebaikan seluruhnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim). Muncul pertanyaan, mengapa malu itu semuanya baik? bukankah kita mendapati ada orang yang malu berbuat baik atau meninggalkan maksiat?

Jawabannya, jika rasa malu pada seseorang menghalanginya melakukan kebaikan atau mendorongnya berbuat kemaksiatan pada hakikatnya itu bukanlah malu. Itu merupakan sikap lemah yang melekat pada diri seseorang.

Ibnu Rajab Al-Hambali ketika menjelaskan hadis di atas, mengatakan, malu yang dipuji dalam ucapan Rasulullah SAW adalah akhlak yang bisa mendorong seseorang melakukan kebaikan dan meninggalkan kejelekan.

Sedangkan rasa lemah yang menyebabkan seseorang mengurangi hak Allah ataupun hak hamba-Nya bukan termasuk malu. Tetapi ini adalah kelemahan, ketidakmampuan, dan kehinaan.

Hendaklah kita memelihara sifat malu yang diajarkan oleh Islam. Malu pada tempatnya. Sebab, sifat malu itulah perhiasan hidup manusia di dunia ini. Tanpanya, manusia tidak berbeda dengan hewan.

Gus Cokro ST: Berjuang dengan Penuh Ikhlas

Seperti diketahui, Khalid bin Walid adalah jenderal yang memimpin pasukan Islam melawan tentara Romawi di Yarmuk, Suriah. Dalam sejarah, perang ini dikenal dengan nama Perang Yarmuk.

Perang masih berkecamuk saat datang surat perintah dari Khalifah Umar bin Khattab untuk memberhentikan Khalid bin Walid sebagai pemimpin perang dan menunjuk Abu Ubaidah bin Jarrah sebagai penggantinya.

Setelah perang usai, dengan kemenangan di pihak Islam, Abu Ubaidah menyerahkan surat pemberhentian itu kepada Khalid.
“Kenapa baru sekarang diserahkan,” tanya Khalid. Abu Ubaidah menjawab, “Bukan kerajaan dunia yang kami mau, dan bukan untuk dunia kami berbuat.” (Rijal haula al-Rasul, 262).

Khalid bin Walid dikenal sebagai jenderal perang yang sangat masyhur dan tak terkalahkan. Ia selalu memperoleh kemenangan dalam 100 kali pertempuran yang diikuti baik sebelum maupun setelah ia memeluk Islam.

Ia pantas menerima gelar Pedang Allah (Sayfullah). Dalam Perang Yarmuk, ia membabat begitu banyak musuh, hingga pedangnya sembilan kali patah. Dikatakan, pedang Khalid boleh patah, tetapi pedang Allah (Khalid) tidak boleh patah.      

Meskipun dipecat saat di puncak kariennya sebagai militer, Khalid tidak sakit hati, tidak pula galau. Ia tidak berhenti, dan tetap berjuang. Kepada teman-temannya, ia menyatakan bekerja dan berjuang bukan untuk Umar, tetapi untuk Allah.

Ia berjuang secara tulus dan ikhlas. Kini bendera kepemimpinan berada di tangan Abu Ubaidah, sahabatnya. Seperti Khalid, sahabat Nabi yang satu ini, Abu Ubaidah adalah pejuang sejati.

Saat itu, ia tak buru-buru menyerahkan surat penunjukan dirinya sebagai panglima perang kepada Khalid. Alasannya satu dan sama, ia berperang bukan untuk mencari kemuliaan sendiri, melainkan untuk Islam dan kaum Muslimin.

Melebihi kedua orang jenderal di atas, Umar dikenal sebagai khalifah yang arif dan bijaksana. Seperti diketahui, ia sangat jujur, pemberani, bersikap tegas dan  adil, sehingga gelar al-Faruq yakni pemisah yang hak dan batil dilekatkan kepadanya.

Banyak orang bertanya, mengapa Khalifah Umar memberhentikan Jenderal Khalid? Padahal Khalid  brilian dan berprestasi. Khalifah Umar, tentu memiliki alasan-alasannya sendiri. Paling tidak, tiga pelajaran yang ingin beliau tunjukkan.

Pertama, mengingatkan kepada Khalid dan juga kepada setiap Muslim, pangkat dan jabatan bukanlah tujuan. Ia hanyalah amanat perjuangan dan pengabdian. Kedua, meski selalu meraih kemenangan,  jangan sampai Khalid dipuji berlebihan.

Jangan sampai pula kekuatan dan kemenangan Islam bergantung hanya pada Khalid seorang. Ketiga, menunjukkan kepada dunia, Islam memiliki SDM yang kaya dan kuat, dan kaderisasi kepemimpinan yang dilakukan Umar berjalan baik.

Dalam pandangan Umar, perjuangan Islam adalah sarana untuk mencetak para pemimpin. Dalam kondisi demikian, tidak ada masalah, bendera kepemimpinan dipindahkan dari Khalid ke Abu Ubaidah atau kepada sahabat yang lain.
Sebagai tentara Allah, para sahabat tidak pernah ragu berjuang, sebagai panglima atau prajurit biasa. Wallahu a`lam!

Gus Cokro ST: Menemukan Nikmat Shalat

Setiap anggota badan memiliki momentum untuk merasakan kenikmatan. Nikmatnya lidah adalah saat makanan lezat dimasukkan ke mulut. Nikmatnya mata ketika dapat sempurna membedakan warna dan memandang indahnya alam.

Nikmatnya hati adalah saat ia berhasil melihat Tuhan. Kata Nabi itulah ihsan yaitu seakan-akan kita melihat Allah SWT bila tidak mampu kita merasakan dilihat Allah. Ini merupakan kenikmatan tertinggi bagi manusia.

Kondisi  seperti ini dapat diraih seorang mukmin tatkala shalat. Hadirnya hati dalam setiap kalimat yang diucapkan seorang yang shalat merupakan kunci utamanya. Ia betul-betul merasakan sedang dialog dengan sang Pencipta.

Itulah jenis shalat yang berkualitas sehingga Allah SWT menjanjikan pemenuhan segala yang diminta orang yang shalat itu. Seperti sabda Nabi SAW yang diriwayatkan Abu Hurairah,’’ Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah bersabda, “Allah berfirman. Aku bagi shalat itu menjadi dua bagian satu untuk-Ku dan satu bagian untuk hamba-Ku. Bila hamba-Ku mengucapkan Alhamdu lillahi rabbil Alamin. Allah berfirman “Hambaku telah memujiku”.Jika hamba-Ku membaca Arrahmanirrahim. Allah berfirman “Hambaku telah mengagungkan Aku”.Jika hambaku membaca Maliki Yaumi Al Din. Allah menimpali “Hambaku telah memuliakan Aku”. Dan sekali lagi Allah berfirman “Hambaku memberi kuasa penuh kepadaku”.

Merasakan dialog dengan Allah. Itulah perasaan yang dapat dinikmati orang yang khusyuk shalatnya. Saking asyiknya bercengkerama dengan sang Khaliq ia tidak merasakan sakit tatkala sebuah anak panah yang menancap di kakinya dicabut.

Begitulah yang dirasakan Ali bin Abi Thalib. Alkisah dalam sebuah peperangan menantu Rasulullah itu terkena panah. Lalu ia meminta tolong kepada kawannya agar panah tersebut dicabut saat dirinya sedang shalat.

Walaupun darah mengucur Ali tidak mengerang kesakitan sebab hatinya sedang melihat Tuhan. Yang dialami Urwan bin Zubeir lebih dahsyat lagi. Kakinya harus diamputasi dengan gergaji tanpa obat bius.

Sahabat ini menyiasatinya dengan mengambil air wudhu dan bermunajat kepada Allah. Di tengah-tengah shalatnya itulah tim kesehatan menggergaji kakinya. Atas karunia Allah ia pingsan beberapa jam dan setelah operasi selesai baru siuman.

Orang-orang saleh menikmati shalat dengan menangis. Ketika hati dapat meresapi doa yang dipanjatkan dalam shalat maka itulah asyiknya bermunajat kepada Allah. Begitupun saat bacaan Alquran yang dilantunkan menyayat hati.

Dari Ibnu Abas berkata aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Ada dua mata yang tidak akan dijilat api neraka  yaitu mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang berjaga di jalan Allah.’’ (HR Tirmizi)

Menangis karena sedih itu biasa tetapi menangis karena takut siksaan Allah, luar biasa. Efeknyapun sangat berbeda. Orang yang kebanyakan menangis karena sedih membuatnya tidak selera makan sakit maag kambuh dada sesak dan kepala pusing.

Menangis karena bermunajat kepada Allah justru membawa kesegaran luar biasa. Sebab orang yang dapat mengucurkan air mata ketika shalat telah menyerahkan semua urusan hidupnya kepada sang pengurai masalah yaitu Allah.

Maka hatinyapun menjadi riang karena tawakal. Hati yang seperti itu membawa energi yang sangat kuat. Karena itu bila ia seorang pedagang tidak akan menyerah walaupun bangkrut. Bila ia aktivis tidak akan gentar, dan bila ia pejuang tidak takut kematian.

Gus Cokro ST: Selamat Datang Ramadan

Beberapa hari ke depan, bulan Ramadhan akan kembali menyapa kita. Selayaknya kaum Muslimin menyambutnya dengan penuh suka cita. Menyambut Ramadhan itu termasuk salah satu bentuk pengagungan syiar-syiar Allah SWT.

Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS Al-Haj [22]: 32). Ada banyak alasan kaum Muslimin mesti bersuka-cita menyambut Ramadhan.

Pertama, Ramadhan adalah bulan dilipatgandakannya pahala. Rasulullah bersabda, ”Semua amalan anak Adam akan dilipatgandakan (balasannya), satu kebaikan dibalas dengan sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat.

Allah SWT berfirman, ”Kecuali puasa, sesungguhnya ia untuk-Ku, dan Aku yang akan langsung membalasnya. Hamba-Ku telah meninggalkan syahwat dan makanannya karena Aku.” (HR Muslim).

Kedua, disiapkan Surga Arrayyan bagi yang berpuasa. Rasulullah SAW bersabda, ”Sesungguhnya di surga ada sebuah pintu yang disebut Arrayyan, yang pada hari kiamat nanti hanya akan dimasuki oleh orang-orang yang terbiasa berpuasa. Tidak satupun selain mereka yang memasukinya. Jika mereka (orang-orang yang terbiasa berpuasa) telah masukinya, pintu itu akan ditutup. Sedangkan siapa saja yang telah masuk melaluinya, ia pasti minum. Barangsiapa yang minum ia pasti tidak akan merasakan haus  selamanya.” (HR Bukhari, Muslim, Nasa’i, dan Tirmidzi).

Ketiga, selama Ramadhan pintu surga dibuka lebar-lebar. Pintu neraka ditutup rapat-rapat dan setan dibelenggu sehingga orang yang berpuasa dapat leluasa berburu kebajikan di dalamnya.

Rasulullah SAW bersabda, ”Telah tiba kepada kalian bulan penuh berkah. Allah SWT mewajibkan kalian berpuasa di bulan ini. Pada bulan itu pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu. Pada bulan itu ada satu malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan. Siapa yang terhalangi untuk mendapatkan kebaikannya, sungguh ia telah dihalangi (benar-benar tidak akan mendapatkannya).” (HR Nasa’i).

Keempat, doa orang berpuasa mudah dikabulkan. Rasulullah SAW bersabda, ”Tiga macam doa yang pasti dikabulkan yakni doa orang yang berpuasa, doa orang yang dizalimi, dan doa orang yang musafir.

Kelima, diampuninya dosa orang yang berpuasa. Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala dari Allah, niscaya Dia mengampuni dosanya yang telah lalu.” (HR Bukhari Muslim).

Keenam, pada bulan Ramadhan terdapat malam lailatul qadar, yaitu suatu malam yang nilainya lebih baik daripada seribu bulan. (QS Al-Qadr [97]: 1-3). Semoga kita termasuk orang-orang yang diberi kesempatan bertemu Ramadhan dan dapat menyambutkannya dengan penuh suka cita. Amin.