Gus Cokro ST: Stop Percaya Diri Berlebihan

Seorang budak belian yang mempunyai kedudukan terhormat dalam rentang peradaban manusia adalah Lukman al-Hakim. Dia bukan malaikat bukan pula Nabi.

Namun, namanya terekam dalam Alquran, bahkan menjadi nama sebuah surah. Sampai-sampai Nabi pun menegaskan, ada tiga orang berkulit hitam yang akan menjadi pemimpin penghuni surga.

Salah satunya adalah Lukman al-Hakim. Banyak tamsil berisi pelajaran dari Lukman. Di antaranya pesan agar jangan takabur. Ucapan Lukman kepada anaknya, “Dan janganlah berjalan di muka bumi dengan congkak. Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri.” (Lukman: 18).

Takabur sering didefinisikan dengan rasa kagum terhadap diri, sikap suka membangga-banggakan, membesar-besarkan, dan membusungkan dada.

Lantaran kagum pada potensi dirinya, akibatnya membuahkan sikap arogan, pongah, sombong, dan angkuh terhadap orang lain. Hanya dialah pemilik superioritas dan tak ada seorang pun yang bisa menandinginya.

Ar-Razi berujar, “Seseorang yang menyombongkan kudanya tidak mau menukarnya dengan kuda lain yang lebih kencang larinya sebab dia berpandangan tak ada kuda lain yang mungkin berlari lebih cepat dari kuda miliknya.”

Mutakabbir (orang yang takabur) percaya dialah satu-satunya pemilik kebenaran, karenanya tak ada kebenaran lain di luar dirinya.

Take and give tak masuk dalam kamus kehidupan orang-orang takabur. Dia bebal terhadap inovasi, saran, dan kritik orang lain. Nabi bersabda, “Sesungguhnya takabur adalah mencampakkan kebenaran dan meremehkan manusia.’’ (HR Ath-Thabrani).

Takabur tidak hanya berbahaya terhadap orang lain tetapi juga terhadap dirinya sendiri. Dia hanya tahu kelemahan orang lain, sedang boroknya sendiri tak ia sadari. Dia menutup mata rapat-rapat akan kemajuan orang lain.

Maka petaka bagi sebuah bangsa yang pemimpinnya dihinggapi penyakit takabur karena tak akan ada alih ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga ia terus berkubang dalam status quo-nya dan tersisih dari percaturan dunia internasional.

Karena si takabur berkeinginan memperoleh puja-puji tetapi sesungguhnya ia menuju ambang degradasi. Posisinya justru makin terpuruk.

Sufyan ats-Tsauri berucap, “Sesungguhnya kemaksiatan yang tumbuh dari nafsu mempunyai harapan untuk memperoleh ampunan namun setiap kemaksiatan yang lahir karena takabur, tak ada ampun baginya. Karena kemaksiatan iblis itu berawal dari takabur (dia menduga dirinya lebih baik dari Adam), sedang dosa Adam berawal dari nafsu (keinginana untuk mengecap buah pohon terlarang).

Contoh paling gamblang dari sosok takabur adalah Firaun yang karam ditelan lautan. Dia tak hanya sombong dan mengingkari ayat-ayat Tuhan tetapi juga begitu berani mengaku dirinya sebagai Tuhan.

Karena itu, belajarlah dari bumi, yang meski berjibun makhuk mengeruk pelbagai karunia darinya namun ia tetap berada di bawah.

Jalaludin Rumi, sufi besar Persia abad ke-13 berucap, “Sebuah pohon yang sarat buah-buahan, cabang-cabangnya merunduk ke bumi. Tetapi kemudian pohon itu mengangkat kepalanya ke langit, dapatkah kita berharap memetik dan menikmati buahnya?’’

Gus Cokro ST: Bersyukur Sepenuh Hati

Cinta tanpa syarat. Begitulah harapan para pecinta untuk dapat mencintai sosok yang ia. Harapan itu sebagai bukti bahwa dia benar-benar mencintai sepenuh hati, apa adanya, tanpa syarat barang satu pun.

Jika cinta saja bisa tanpa syarat, sepatutnya, sebagai Muslim kita juga patut menjaga syukur tanpa syarat kepada Sang Pemberi Nikmat.

Allah SWT dalam beberapa ayat  Alquran banyak mengajak para hamba-Nya untuk mudah bersyukur. Bukan karena Dia membutuhkan rasa terimakasih dari manusia. Bersyukur ialah sebuah kebutuhan ruhani, baik diucapkan melalui lisan dengan ‘Alhamdulillah’, juga berupa perbuatan dengan memberdayakan apa yang kita dapatkan untuk kemaslahatan manusia.

Bersyukur juga sebagai bukti kelemahan bahwa kita sama sekali tidak dapat memberikan manfaat dan mudharat bagi diri sendiri, terlebih kepada orang lain.

Karena ketidakmampuan itulah, manusia dianjurkan untuk mensyukuri apa yang ia peroleh, baik itu rezeki, kesehatan, ketentraman hidup, kebersamaan bersama orang-orang terkasih, dan masih banyak lagi nikmat-nikmat nan terhingga yang tak kuasa menyebutkannya.

Itu semua Allah limpahkan kepada manusia karena Allah bersifat Wahhab. Wahhab berarti Maha Memberi segala sesuatu baik yang dipinta ataupun tidak dipinta hamba-Nya.

Imam Ghazali menyebutkan bahwa pemberian Allah bersifat terus-menerus, tiada henti, berkesinambungan, dunia maupun akhirat, kepada siapa pun. Terlepas si hamba mensyukurinya atau tidak, karena memang pada hakikatnya Allah tidak membutuhkan apa pun dari hamba-Nya. Pemberi tanpa pamrih.

“... jika engkau bersyukur, maka akan Kutambah nikmat-Ku untukmu. Namun, jika kamu kufur (enggan bersyukur), sungguh adzab-Ku amat pedih.” (QS Ibrahim: 7)

Dalam perjalanan hidup, manusia tergolong menjadi dua: golongan syukur dan golongan kufur. Oleh karenanya, tercermin dari surah di atas bahwa janji Allah terlimpah untuk dua golongan manusia, baik yang syukur maupun yang kufur. Jika kita mensyukuri nikmat Allah apa pun bentuknya, seberapa pun banyaknya, maka nikmat itu akan bertambah.

Sebagai manusia biasa, terkadang kita alpa. Kita hanya sibuk mensyukuri pemberian-Nya yang enak dan tampak. Namun, lupa untuk bersyukur saat memeroleh musibah. Saat musibah datang, yang meluncur dalam doa-doa ialah keluhan dan kesedihan hingga penantian kapan musibah itu hilang.

Padahal, dalam terhimpit musibah sekalipun kita dianjurkan untuk tetap bersyukur, sebagai bukti bahwa itu adalah bentuk perhatian dan kasih sayang Allah.

Dalam sebuah Hadis Qudsi disebutkan, “Wahai malaikat Jibril, datanglah kepada hamba-Ku dan kirimkanlah ia sebuah musibah, karena Aku rindu akan rintihannya.” (HR Muslim).

Hadis ini mengisyaratkan bahwa diuji dengan masalah ialah bukti bahwa Allah merindu rintihan dari para hamba-Nya. Tak inginkah kita dirindu?

Akhirnya, hakikat bersyukur tanpa syarat ialah kita tidak perlu menunggu datangnya nikmat  lantas bersyukur. Tapi, bersyukur sebenarnya ialah senantiasa menjaga ungkapan terima kasih pada Sang Maha Kasih atas segala nikmat yang telah, sedang dan akan kita dapatkan. Wallahu a’lam.

Gus Cokro ST: Beribadah dan Beramallah Terus Menerus

Diriwayatkan dari Siti Aisyah, Nabi SAW masuk ke tempatnya dan di sisinya ada seorang perempuan dari Bani Asad. Lalu,  Nabi SAW bertanya, “Siapakah ini?“ Aisyah menjawab, “Si Fulanah (ia tidak pernah tidur malam), ia menceritakan shalatnya.

Nabi SAW bersabda, “Lakukanlah (amalan) menurut kemampuanmu. Demi Allah, Dia tidak merasa bosan sehingga kamu sendiri yang bosan. Amalan agama yang paling disukai Allah SWT adalah yang dilakukan oleh pelakunya secara kontinu.’’ (HR Bukhari).

Dalam hadis di atas, Rasulullah SAW mengingatkan amalan paling baik dan disukai Allah SWT adalah amalan yang dilakukan secara kontinu. Bukan amalan yang besar atau yang kecil. Amalan kecil bila kontinu lebih baik daripada amalan besar namun dilakukan hanya sekali.

Amalan kecil dilakukan secara terus-menerus maka dalam pandangan Allah SWT amalan itu menjadi besar. Sebaliknya, kesalahan (maksiat) yang kecil dilakukan secara terus-menerus, lambat laun menjadi besar sehingga menumpuklah dosa kita.

Rasulullah SAW bersabda, ’’Tidak ada dosa kecil apabila dilakukan secara terus-menerus.'' Artinya dosa kecil yang kontinu akan menjadi dosa besar. Karena itu, melakukan shalat Dhuha dua rakaat setiap pagi lebih baik daripada 12 rakaat cuma sekali.

Menunaikan Tahajud dua rakaat setiap malam lebih baik daripada 13 rakaat beserta witirnya namun cuma sekali.
Begitu pun membaca Alquran satu ayat setiap hari lebih baik daripada membaca beberapa ayat tapi cuma sekali (hal ini biasanya dilakukan hanya di bulan Ramadhan).

Bersedekah Rp 1.000 setiap hari lebih baik dibandingkan bersedekah Rp 100 ribu tetapi hanya sekali. Rasulullah SAW tidak menekankan jumlah rakaat, berapa ayat, dan berapa rupiah melainkan kontinuitas beramal yang baginda inginkan.

Dalam beribadah, Rasulullah SAW mengajarkan kepada umatnya agar melakukannya sekuat tenaga dan semampu kita.
Dalam hal ini Allah SWT berfirman, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.’’ (QS Al-Baqarah:286).

Dan Nabi SAW bersabda, ’’Kerjakan amal perbuatan sekuat tenagamu, Allah tidak jemu menerima dan memberi sehingga kamu jemu beramal, dan shalat yang disukai adalah yang dikerjakan terus-menerus meskipun sedikit.’’ (HR Bukhari-Muslim).

Untuk menjalankan suatu amalan, harus didasari kesabaran dan keyakinan. Tanpa hal tersebut, sulit untuk membiasakan amalan (ibadah). Sebab kesabaran dan keyakinan melahirkan semangat sehingga dalam keadaan apapun kita terus beribadah.

Gus Cokro ST: Menyimpan Dendam

Dilatarbelakangi kekalahan mereka dari kaum muslimin pada peperangan di Lembah Badar (17 Ramadhan 1 H), kaum Quraisy (Makkah) bersepakat membalas dendam.

Lalu, mereka menyiapkan pasukan berkekuatan sekitar 3.000 prajurit di bawah pimpinan Abu Sufyan bin Harb.
Pasukan sebesar itu ternyata merupakan gabungan dari kaum Quraisy, sejumlah warga Habsyah dan warga Arab dari Bani Kinanah dan Bani Tihamah.

Setelah informasi tersebut diketahui Rasulullah SAW, tanpa membuang-buang waktu beliau berkonsolidasi dengan para sahabat untuk mencari jalan ke luar terbaik.
Setelah perdebatan panjang, kaum muslimin bersepakat menghadang mereka di luar Kota Madinah yakni di Gunung Uhud.

Dengan kekuatan sekitar 1.000 prajurit, Rasul berangkat ke Gunung Uhud menghadang musuh (pertengahan Syaban 2 H).
Maka berkecamuklah peperangan itu. Berbeda dengan peperangan di Lembah Badar tahun sebelumnya, peperangan di Gunung Uhud berakhir dengan kemenangan pihak musuh.

Kekalahan tersebut terasa sangat menyakitkan. Bukan saja karena banyaknya korban di kalangan kaum muslimin namun karena ketidakdisiplinan prajurit Islam sendiri. Konon, prajurit pemanah yang berjaga di punggung gunung sekonyong-konyong meninggalkan pos mereka.

Mereka tergiur harta benda yang ditinggalkan begitu saja oleh pihak musuh. Dengan begitu, ketika prajurit Islam yang serakah tersebut sedang mengambil harta benda di kaki Gunung Uhud seketika itu pula disergap musuh.

Maka terjadilah malapetaka yang sangat menyakitkan itu. Hamzah bin Abdul Muthalib, panglima perang sekaligus paman Rasulullah SAW terbunuh ditombak dari belakang oleh Wahsyi,  budak milik  Muth’im bin Jubair.

Dalam suatu riwayat dikemukakan, pada peperangan di Gunung Uhud itu, gugur 64 orang dari kalangan Anshar dan enam orang dari kalangan Muhajirin termasuk Hamzah. Semua prajurit Islam itu anggota tubuhnya dikoyak-koyak dengan kejam.

Bahkan, ketika Hindun bin Uthbah (istri Abu Sufyan bin Harb) melihat jasad Hamzah yang sudah tidak bernyawa, dihampirinya dengan penuh kebencian. Lalu, dia belah dadanya. Dia keluarkan jantungnya. Dia mengunyahnya, dan menelannya. Biadab!

Maka berkatalah kaum Anshar, “Jika kami mendapat kemenangan, kami akan berbuat lebih dari apa yang mereka lakukan.” (HR At-Tirmidzi dari Ubay bin Ka’ab).

Dalam riwayat lain, ketika Rasulullah berdiri SAW di hadapan jenazah Hamzah beliau berkata, “Aku akan bunuh 70 orang dari mereka sebagaimana mereka lakukan terhadap dirimu.” (HR Al-Hakim dan Al-Baihaqi dalam Kitab Ad-Dalail dan Al-Bazzar dari Abu Hurairah).

Apa yang diungkapkan kaum Anshar dan Rasulullah SAW menyiratkan keinginan membalas dendam. Mereka saat itu beranggapan, yang dilakukan musuh telah melampaui batas peri kemanusiaan. Maka menurut mereka sepantasnya dibalas dengan balasan yang setimpal.

Allah SWT berfirman, “Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar. Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS An-Nahl [16] : 126 -128).

Menurut Ibnu Hishar ayat-ayat tersebut diturunkan hingga tiga kali. Mula-mula diturunkan di Makkah, lalu di Gunung Uhud, selanjutnya saat Fathu Makkah. Kandungan ayat itu juga sangat menarik. Dalam keadaan sesulit apapun, kaum muslimin diajarkan untuk bersabar.

Dalam situasi seperti itu, bersabar akan terasa sangat berat. Namun, Allah SWT menjanjikan pertolongan. Dalam ayat lain ditegaskan pertolongan Allah itu dekat. Karena itu, tidak perlu bersedih hati dan tidak perlu bersempit dada.

Gus Cokro ST: Siapkan 4 Macam Bekal Buat Hidup Sesudah Mati

Sewaktu sakit menjelang wafatnya, sahabat Abu Hurairah sempat menangis. Ketika ditanya, beliau berkata, “Aku menangis bukan karena memikirkan dunia, melainkan karena membayangkan jauhnya perjalanan menuju negeri akhirat. Aku harus menghadap Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa. Aku pun tak tahu, perjalananku ke sorga tempat kenikmatan atau ke neraka tempat penderitaan.?”

Lalu Abu Hurairah berdo’a: “Ya Allah, aku merindukan pertemuan dengan-Mu, kiranya Engkau pun berkenan menerimaku. Segerakanlah pertemuan ini”! Tak lama kemudian, Abu Hurairah berpulang ke rahmatullah. (Ibn Rajab, Jami` al-`Ulum wa al-Hikam).
   
Sahabat Nabi SAW yang satu ini, Abu Hurairah, memiliki keutamaan tersendiri. Lantaran tidak terlalu sibuk dalam bisnis dan politik, Abu Hurairah merupakan seorang sahabat yang paling banyak belajar dan mendapatkan pengajaran dari Baginda Rasulullah SAW.

Tak heran bila sejarah mencatatkan namanya sebagai sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis. Kita semua berhutang budi kepadanya. 
    
Sebagaimana ditunjukkan Abu Hurairah, setiap Muslim mesti mengingat kematian, dan memperbanyak bekal dalam perjalanan panjang menuju negeri akhirat. Setiap perjalanan, sejatinya, memerlukan bekal, baik fisik maupun non fisik (spiritual).

Kitab suci Alqur’an menyebut takwa sebagai sebaik-baik bekal. “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa, dan bertakwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah/2: 197).
   
Bekal itu setidak-tidaknya meliputi empat macam. Pertama, transendensi, yang bertolak dari kekuatan iman kepada Allah SWT. Transendensi menunjuk pada kemampuan manusia menyeberang atau melintasi batas-batas alam fisik, menuju alam rohani yang tak terbatas, yaitu Allah SWT. Ciri yang mula-mula dari orang takwa adalah transendensi, yu`minu bi al-ghayb (QS. Al-Baqarah/2: 3).
   
Kedua, distansi, yaitu kemampuan menjaga jarak dari setiap godaan dan kesenangan duniawi yang menipu (al-Tajafa fi Dar al-Ghurur). Distansi adalah kunci keselamatan.

Dalam bahasa modern, seperti dikemukakan al-Taftazani, distansi tak mengandung makna menolak dunia atau meninggalkannya, tetapi mengelola dunia dan menjadikannya sebagai sarana untuk memperbanyak ibadah dan amal shalih. Di sini, dunia dipahami hanya sebagai alat (infrastruktur), bukan tujuan akhir.
   
Ketiga, kapitalisasi dalam arti kemampuan menjadikan semua aset yang dimiliki sebagai modal untuk kemuliaan di akhirat. Penting diingat, kapitalisasi hanya mungkin dilakukan oleh orang yang benar-benar percaya kepada Allah, dan percaya pada balasan-Nya.

Firman-Nya: “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah/2: 45-46).
   
Keempat, determinasi dalam arti memiliki semangat dan kesungguhan dalam mengarungi kehidupan. Determinasi tak lain adalah perjuangan itu sendiri.

Dalam Islam, perjuangan itu bersifat multideminsional dan multi-quotient, meliputi perjuangan fisikal (jihad), intelektual (ijtihad), dan spiritual (mujahadah). Allah SWT akan  membukakan pintu-pintu kemenangan bagi orang yang berjuang dan memiliki determinasi dalam perjuangan. (QS. Al-`Ankabut/29: 69).
   
Inilah empat macam bekal yang perlu dipersiapkan sebelum ajal menjempunya. Semua orang berakal mengerti, kalau cukup bekal, perjalanan menjadi enjoy dan menyenangkan. Wallahu a`lam!

Gus Cokro ST: Cara Memperlakukan Anak Perempuan

Selain sebagai amanah yang akan dipertanggungjawabkan, anak merupakan karunia dan hibah dari Allah SWT sebagai penyejuk pandangan mata, kebanggaan orang tua, dan sekaligus sebagai perhiasan dunia, serta belahan jiwa (QS al-Kahfi [18]: 46).

Karena itu, perlakukan anak dengan penuh cinta dan kasih sayang, lebih-lebih bagi anak perempuan. Terkait anak perempuan, secara khusus Rasulullah SAW melarang memperlakukannya dengan kasar.

Dari Uqbah bin Amir berkata Rasulullah SAW pernah bersabda, “Janganlah kalian memperlakukan anak-anak perempuan dengan kasar, karena sesungguhnya mereka adalah manusia yang berpembawaan lembut lagi peka perasaannya.” (HR Ahmad).

Hadis di atas menuntun kita, para orang tua, untuk mendidik anak-anak perempuan dengan baik dan bijak, serta tidak memperlakukannya dengan kasar. Sebab, perlakuan kasar dapat memicu rasa sakit hati dan dendam yang tidak mudah hilang dari ingatannya.

Bagaimana jika anak perempuan itu melakukan perbuatan yang menjengkelkan? Orang tua hendaknya dapat meluruskannya dengan baik dan bijak. Karena perlakuan kasar itu tidak dapat menyelesaikan masalah. Alih-alih meluruskan kesalahan anak, orang tua malah dijauhi.

Oleh karena itu, hindarkan tindakan menuduh, berburuk sangka, dan bermuka masam terhadap anak perempuan. Perlakukan anak perempuan dengan kelembutan dan kasih sayang.

Dan, sungguh beruntung orang tua yang dikaruniai anak perempuan dan ia dapat memperlakukannya dengan baik, bijak, dan penuh kesabaran. Maka, baginya balasan kemuliaan, yaitu surga. Subhanallah.

Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa mempunyai tiga anak perempuan, lalu bersikap sabar terhadap keluh-kesah, suka-duka, dan jerih-payah mengasuh (mendidik) mereka, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga berkat kasih sayangnya kepada mereka.

Dalam hadis yang lain, “Barang siapa mempunyai tiga orang anak perempuan atau tiga saudara perempuan, dua orang anak perempuan atau dua saudara perempuan, lalu ia memperlakukan mereka dengan baik dan bertakwa kepada Allah dalam mengasuh mereka, maka baginya surga.” (HR Tirmidzi).

Hadis lainnya, “Barang siapa menanggung tiga anak perempuan, lalu mendidiknya, menikahkannya, dan memperlakukannya dengan baik, maka baginya surga.” (HR Abu Dawud).

Semoga Allah mengaruniai kita, para orang tua, tambahan kesabaran dan ketakwaan dalam mendidik anak-anak, terutama anak perempuan dengan penuh cinta, kasih sayang, dan tanggung jawab. Aamiin.

Gus Cokro ST: Gali Syukur Saat Teraniaya

Dalam kitab Ushfuriyah karya Muhammad bin Abu Bakar al-Ushfuri, dikisahkan, Ibrahim bin Azham, sebelum masuk Islam, memiliki 72 orang budak (hamba sahaya). Namun setelah masuk Islam, ia memerdekakan seluruh budaknya, kecuali satu orang.

Hal itu disebabkan si hamba sahaya ini suka minum minuman keras dan mabuk-mabukan. Pada suatu hari, sang budak kembali mabuk-mabukan. Tanpa disadarinya, ia bertemu dengan tuannya, yakni Ibrahim bin Azham. Si budak pun meminta diantarkan pulang.

"Wahai fulan, tolong antarkan aku ke rumahku," ujarnya. Ibrahim pun mengantarkannya. Namun bukan diantar ke rumah, melainkan ke kuburan. Mengetahui tempat yang dituju adalah kuburan, marahlah si budak tersebut.

Ia pun memukul Ibrahim dengan keras hingga jatuh tersungkur. "Bukankah aku minta diantar ke rumah. Kenapa kau antar aku ke kuburan?" kata dia. Ibrahim pun lantas segera bangkit dan berkata kepada si budak.

"Wahai orang yang pecah kepalanya, wahai orang yang sedikit otaknya, ini (kuburan) adalah rumah yang sebenarnya. Yang lain hanyalah majazi," ujar Ibrahim. Mendengar jawaban itu, bukannya tambah sadar, si budak malah makin marah. Ia pun kembali memukuli Ibrahim.

Ibrahim pun berkata: "Semoga Allah mengampunimu dan aku membebaskanmu." Tapi, lagi-lagi si budak justru memukulinya berkali-kali dengan penuh amarah. Ibrahim terus mendoakan si budak agar perbuatannya diampuni Allah SWT dan diberi petunjuk ke jalan Islam.

Akhirnya datanglah seseorang menghentikan perbuatan buruk si budak itu. "Wahai fulan, apa yang kamu lakukan? Mengapa engkau memukuli tuanmu?" kata laki-laki yang menghentikan perbuatan buruknya tadi. Kesadaran mulai menghinggapi pikirannya. "Siapa ini?" kata dia.

Laki-laki itu pun menceritakan, orang yang dipukulinya itu adalah tuannya, Ibrahim bin Azham. Si budak yang sudah dimerdekakan ini pun kemudian meminta maaf atas perbuatannya tadi. Ia lalu berkata: "Wahai tuan, maafkan kesalahanku." Ibrahim pun memaafkannya.

Si budak yang telah dimerdekakan ini berkata: "Wahai tuan, aku telah memukuli dan menyakitimu. Namun, engkau selalu saja berdoa yang terbaik untukku dan berkata semoga Allah mengampuniku."

Ibrahim berkata, "Bagaimana aku tak mendoakanmu, sebab karena perbuatanmu itu yang bisa mengantarkanku ke surga. Maka sudah selayaknya aku memohon doa kepada Allah agar Ia mengampunimu," ujarnya.

Dari kisah di atas dapat diambil kesimpulan, seburuk apapun perbuatan orang kepada kita, selayaknya kita tak membalasnya dengan keburukan pula. Sebaliknya kita dianjurkan mendoakannya dan berharap yang bersangkutan mendapat petunjuk  Allah SWT.

Sebab, jika kita membalas perbuatannya dengan keburukan pula, kita ikut berbuat zalim. Agama mengajarkan, bila melihat kemungkaran, kita harus mengubahnya (menghentikannya) dengan kekuasaan yang dimiliki.

Jika kita tak mampu, hentikan dengan lisan, dan bila tak mampu juga, cukuplah dengan hati untuk membenci perbuatan buruk itu. Kisah di atas juga mengajarkan agar kita tak semena-mena menganiaya (menzalimi) orang lain.

Misalnya mencuri, membunuh, membohongi, atau mengambil hak orang lain. Sebab, doa orang teraniaya itu sangat mustajab dan dikabulkan Allah. Dan bagi mereka yang bersabar atas perbuatan zalim akan mendapatkan pahala dan surga dari Allah. Wallahu a'lam.

Gus Cokro ST: Mereka yang Dinaungi Allah

Pada hari kiamat, Allah SWT bakal mengumpulkan segenap manusia dari semua generasi di suatu tempat bernama mahsyar. Tempat itu berupa tempat terbuka. Di sana, tak ada satu naungan pun kecuali naungan Allah SWT.

Dalam hadis riwayat Muslim, Rasulullah SAW menggambarkan pada hari itu matahari akan berada sedekat-dekatnya dengan manusia. Dengan begitu, mereka dipastikan merasa kepanasan luar biasa. Keringat mereka bercucuran sangat deras.

Genangan keringat mereka sangat banyak. Ada yang menggenangi mata kaki, lutut, dan pinggang mereka. Bahkan, ada pula yang menenggelamkan mereka. Semua itu bergantung pada amal masing-masing.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Pada hari kiamat semua manusia berkeringat. Genangan keringat mereka di atas permukaan bumi mencapai tujuh puluh hasta. Dan, akan menggenangi mereka hingga telinga mereka.’’ (HR Bukhari dan Muslim).

Pada hari itu hanya ada tujuh golongan yang berhak atas naungan Allah. Abu Hurairah menuturkan, Rasulullah SAW bersabda, “(Terdapat) tujuh golongan yang akan mendapat naungan Allah pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Siapa mereka yang beruntung itu? Pertama, pemimpin yang adil. Yakni orang yang memimpin rakyatnya dengan amanah dan tidak menghakimi mereka dengan menuruti hawa nafsunya.

Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.’’ (QS An-Nisaa [4] : 58).

Kedua, pemuda yang konsisten beramal kebajikan dalam hidupnya. Yakni yang beruntung mendapatkan taufik dan hidayah Allah sejak usia muda belia. Dia diberi kemudahan untuk melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.

Dia terhindar dari perbuatan sia-sia, dan tak meninggalkan shalat fardhu dengan sengaja. Allah SWT memuji mereka dalam firman-Nya, “Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk.’’ (QS Al-Kahfi [18] : 13).

Ketiga, laki-laki yang hatinya senantiasa terpaut dengan masjid. Yakni yang selalu berupaya keras memakmurkan masjid dalam hidupnya.

Allah SWT berfirman, “Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah yaitu orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut selain kepada Allah. Merekalah yang diharapkan termasuk golongan orang yang mendapat petunjuk.” (QS At-Taubah [9] : 18).

Keempat, dua orang laki-laki yang saling mencintai atas nama Allah. Mereka berdua berkumpul dan berpisah atas nama-Nya. Allah berfirman, “Maka kelak Allah mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lembut terhadap orang-orang mukmin, bersikap tegas terhadap orang-orang kafir, yang berjuang di jalan Allah, dan tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.” (QS Al-Maidah [5] : 54).

Dari Abu Umamah RA Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa saling mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan menahan karena Allah maka iman pada dirinya telah sempurna.’’ (HR Abu Dawud dan disahihkan oleh Al-Albani).

Kelima, laki-laki yang manakala diajak mesum oleh wanita jelita dan memiliki kedudukan tinggi dengan tegas dia menolak ajakan semacam itu karena takut akan Allah.

Allah berfirman, “Dan adapun orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari dorongan hawa nafsunya. Maka, sesungguhnya Surgalah tempat tinggal(nya).’’ (QS An-Naazi’aat [79] : 40-41).

Keenam, laki-laki yang menyedekahkan hartanya dengan ikhlas demi mendapatkan keridaan-Nya semata (diilustrasikan dalam QS Al-Baqarah [2] : 271).

Ketujuh, laki-laki yang hatinya merasa takut kepada Allah. Dengan begitu dia selalu mengingat keberadaan-Nya, menyebut-nyebut nama-Nya, merenungkan kebesaran-Nya, karunia-Nya, dan rahmat-Nya. Tak jarang hingga berlinang air matanya (dilukiskan dalam QS Al-Maidah [5] : 83). Semoga kita semua termasuk golongkan yang dinaungi Allah.

Gus Cokro ST: Bertasbihlah di akhir shalat 10x, bertahmidlah 10x, dan bertakbirlah 10x

Dalam banyak ayat Alquran, Allah SWT memerintahkan kepada umat Islam untuk senantiasa mengingat Allah (zikir) dalam setiap kesempatan. Di mana pun, kapan pun, dan dalam keadaan apa pun.

Tujuannya agar dalam setiap gerak dan aktivitas keseharian, kita  selalu ingat kepada Allah SWT. Di antara ayat Alquran itu terdapat dalam surah Ali Imran [3] ayat 190-191, QS al-Ahzab [33]: 41, al-Jumu’ah [62]: 10, dan lainnya.

Perintah Allah dalam QS [3]:190-191 menunjukkan, hanya orang-orang berzikir yang senantiasa memikirkan penciptaan langit dan bumi, serta terus berupaya memahami silih bergantinya siang dan malam. Mereka itulah yang disebut ulul albab, yakni orang-orang yang berakal.

Berkenaan dengan hal ini, Abdullah bin Amr meriwayatkan. “Telah bersabda Rasulullah SAW, "Dua hal yang tidak dijaga seorang Muslim melainkan ia masuk surga. Ketahuilah, keduanya mudah namun yang mengamalkannya sedikit; yaitu bertasbih kepada Allah di akhir tiap shalat sebanyak 10 kali, bertahmid kepada-Nya 10 kali, dan bertakbir kepada-Nya 10 kali.

Abdullah bin Amr berkata, “Aku melihat Rasulullah SAW menghitungnya dengan tangannya. Beliau bersabda, "Demikian itu 150 di lisan namun 1.500 di timbangan. Dan jika engkau di tempat tidurmu, engkau bertasbih, bertakbir, dan bertahmid kepada-Nya 100 kali. Demikian itu 100 di lisan tetapi 1.000 di timbangan. Siapakah di antara kalian yang berbuat 2.500 keburukan dalam sehari-semalam?"
Para sahabat bertanya, "Bagaimana orang tidak menjaganya?" Beliau bersabda, "Setan mendatangi salah seorang dari kalian dalam shalatnya. Setan berkata, 'Ingatlah ini, ingatlah itu' hingga ia bergegas agar ia tidak melakukannya. Dan setan mendatanginya di tempat tidurnya, menidurkannya hingga akhirnya ia tertidur." (HR Tirmidzi (3332), Nasai, Ibnu Majah, dan Ahmad).

Banyak sekali ayat Alquran dan hadis Nabi Muhammad SAW yang memerintahkan umat Islam untuk berzikir. Dalam hadis di atas disebutkan, ada zikir yang begitu ringan dan mudah untuk diucapkan sehingga bisa mengantarkan seseorang ke dalam surga.

Namun demikin, karena begitu ringan dan mudah, banyak orang yang benar-benar meringankan dan memudahkannya. Dalam artian, banyak orang malas dan enggan menjalankannya. Mereka lebih suka berbicara hal-hal lain dan bersenda gurau daripada memperbanyak zikir.

Dalam hadis lain, Rasulullah bersabda, “Dua kalimat yang ringan diucapkan lidah, berat dalam timbangan, dan disukai Allah Yang Maha Pengasih, yaitu kalimat ‘Subhanallah wabihamdihi, subhanallahil ‘azhim’(Mahasuci Allah dan segala puji bagi-Nya, Mahasuci Allah Yang Maha Agung).” (HR Bukhari 7/168 dan Muslim 4/2072).

Begitu pula dalam hadis yang lain, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya sebaik-baik ucapan kepada Allah SWT adalah kalimat subhanallah wa bihamdihi.” (HR Muslim dan Tirmidzi).

“Barangsiapa mengucapkan subhanallah wabihamdihi 100 kali dalam sehari, ia akan diampuni segala dosanya sekalipun dosanya itu sebanyak buih di laut.” (HR Muslim dan Tirmidzi).

Berkenaan dengan hal ini, mari kita selalu memperbanyak amal ibadah kepada Allah SWT dengan mengerjakan segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Tak lupa pula, memperbanyak zikir di setiap waktu dan kesempatan. Wallahu a’lam.