Gus Cokro ST: Mengukur Kebaktian Istri pada Suami

Gus Cokro Familly
Lagi, persoalan tentang manakah yang harus didahulukan, antara kewajiban terhadap suami ataukah menaati orang tua. Bagi seorang perempuan yang telah bersuami, pertanyaan ini kerap membuat bingung.
 
Syekh Yusuf al-Qaradhawi dalam kumpulan fatwanya yang terangkum di Fatawa Mu'ashirah bahwa memang benar taat kepada orang tua bagi seorang perempuan hukumnya wajib.

Tetapi, kewajiban tersebut dibatasi selama yang bersangkutan belum menikah. Bila sudah berkeluarga, seorang istri diharuskan lebih mengutamakan taat kepada suami. Selama ketaatan itu masih berada di koridor syariat dan tak melanggar perintah agama.
 
Oleh karena itu, imbuh Syekh Yusuf, kedua orang tua tidak diperkenankan mengintervensi kehidupan rumah tangga putrinya. Termasuk, memberikan perintah apa pun kepadanya. Bila hal itu terjadi, merupakan kesalahan besar.

Setelah menikah, saat itu juga anaknya telah memasuki babak baru, bukan lagi di bawah tanggungan orang tua, melainkan menjadi tanggung jawab suami. Allah SWT berfirman, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita) (QS an-Nisaa’ [4]: 34).

Meski demikian, kewajiban menaati suami bukan berarti harus memutus tali silaturahim dengan orang tua atau mendurhakai mereka. Seorang suami dituntut mampu menjaga hubungan baik antara istri dan keluarganya. Ikhtiar itu kini—dengan kemajuan teknologi—bisa diupayakan sangat mudah. Menyambung komunikasi dan hubungan istri dengan keluarga bisa lewat telepon, misalnya.
 
Al-Qaradhawi menambahkan, di antara hikmah di balik kemandirian sebuah rumah tangga ialah meneruskan estafet garis keturunan. Artinya, keluarga dibentuk sebagai satu kesatuan yang utuh tanpa ada intervensi pihak luar.

Bila selalu ada campur tangan, laju keluarga itu akan tersendat. Sekaligus, menghubungkan dua keluarga besar dari ikatan pernikahan. Allah SWT berfirman, “Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Mahakuasa.” (QS al-Furqan [25]: 54).

Ia menyebutkan beberapa hadis lain yang menguatkan tentang pentingnya mendahulukan ketaatan istri kepada suami dibandingkan orang tua. Di antara hadis tersebut, yakni hadis yang diriwayatkan al-Hakim dan ditashih al-Bazzar.

Konon, Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah, hak siapakah yang harus diutamakan oleh istri? Rasulullah menjawab, “(hak) Suaminya.” Lalu, Aisyah kembali bertanya, sedangkan bagi suami hak siapakah yang lebih utama?” Beliau menjawab, “(Hak) Ibunya.”
 
Syekh Kamil Muhammad Uwaidah dalam kitab Al-Jami’ fi Fiqh an-Nisaa’ mengatakan, seorang perempuan, sebagaimana laki-laki, mempunyai kewajiban sama berbakti terhadap orang tua. Hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah RA menguatkan hal itu.

Penghormatan terhadap ibu dan ayah sangat ditekankan oleh Rasulullah. Mengomentari hadis tersebut, Imam Nawawi mengatakan, hadis yang disepakati kesahihannya itu memerintahkan agar senantiasa berbuat baik kepada kaum kerabat. Dan, yang paling berhak mendapatkannya adalah ibu lalu bapak. Kemudian, disusul kerabat lainnya.


Gus Cokro ST: Saling Menjaga Hak dan Kewajiban Pasangan

Gus Cokro Familly
Memenuhi hak dan kewajiban tidak hanya ditekankan kepada salah satu pihak, melainkan keduanya.
Dalam hidup berumah tangga, salah satu kuncinya adalah saling memenuhi hak dan menunaikan kewajiban masing-masing. Ketentuan itu berlaku untuk kedua pasangan, bukan hanya suami kepada istri, tetapi juga sebaliknya, istri kepada suami.

Syekh Muhammad Shalih al-Munjid, dalam artikelnya yang berjudul Huquq az-Zauwjain mengatakan, kebosanan semestinya bisa dicegah bila kedua belah pihak kembali ke komitmen awal pernikahan serta saling menjaga terpenuhinya hak dan kewajiban masing-masing.

Ia menjelaskan, di antara hak istri ialah menerima nafkah yang layak dari suami. Kebutuhan itu meliputi sandang, papan, dan pangan. “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan, orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. (QS ath-Thalaq [65]: 7).

Dan, istri berhak atas perlakuan yang baik dari suami. Tidak mencela kekurangannya, berkata yang baik, tidak berlaku kasar, dan menghormati jerih payahnya mengurus urusan rumah tangga.

Kesalahan ataupun kekurangan sepele dari sang istri tak lantas mengubur segudang kelebihan yang dimilikinya. Berterimakasihlah kepada istri. Caranya, “Dan bergaullah dengan mereka secara patut.” (QS an-Nisa [4]: 19).

Sang istri juga memiliki kewajiban terhadap sang suami. Yaitu, taat dan memberikan pengabdian yang tulus. “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita).” (QS an-Nisa [4]: 34).

Tuntunan tersebut bisa dilakukan dengan tidak keluar rumah tanpa mengantongi izin suami, melayani kebutuhan suami dengan baik, termasuk tampil cantik di hadapan pendampingnya tersebut. “Intinya, perkokoh keluarga dengan agama,” tulisnya.

Antisipasi kebosanan

Syekh Shalih menguraikan, ada beberapa cara untuk mengantisipasi kebosanan membina hubungan suami istri. Paling mendasar ialah dengan membangun pola komunikasi yang baik dan belajar menjadi pendengar yang baik.

Apa pun persoalan yang muncul, segera bicarakan. Sikap membisu dan diam yang terus-menerus justru semakin mengendapkan masalah. Maksimalkan waktu yang ada untuk menciptakan suasana komunikatif tersebut. Bisa setelah shalat berjamaah, sembari makan bersama, atau ketika waktu berkumpul keluarga.

Berilah kejutan. Berusahalah memberi sesuatu yang baru bagi suami, apa pun itu. Soal penampilan, misalnya. Karena itulah, perlu manajemen waktu yang bagus dari seorang istri. Isteri yang cerdas akan sigap kapan harus memosisikan diri sebagai istri, ibu, dan sahabat bagi suaminya.

Dan, bumbuilah hubungan Anda dengan rasa cemburu. Tak perlu berlebihan. Cemburu yang proporsional adalah bentuk kepedulian dan rasa sayang bagi pasangan.


Gus Cokro ST: Memenuhi Segala Hak Istri

Gus Cokro Familly
Rasulullah SAW tak hanya memenuhi kebutuhan lahir istri namun juga memberikan kebutuhan jiwa dengan bercanda, bermesraan dan memberi perhatian.
Sebelum pernikahan, biasanya ada pembekalan dari petugas Kantor Urusan Agama (KUA) bagi calon mempelai. Isinya biasanya kuliah pra nikah singkat berisi hak dan kewajiban masing-masing jika menjadi suami-istri.

Namun tak jarang pasangan melewatkan pembekalan ini. Yang mengikutinya pun kadang lupa akan kewajiban dan hak masing-masing kala sudah membangun biduk rumah tangga. Perdebatan kerap muncul jika tidak ada ilmu dan pengetahuan mana yang hak dan mana yang kewajiban sehingga harus dipenuhi.

Istri sebagai patner suami dalam rumah tangga tentu harus paham hak dan kewajibannya. Sehingga dia tidak akan menuntut sesuatu yang bukan haknya.

Dan sadar jika ia tak menunaikan kewajiban dengan baik, akan terjadi permasalahan cepat atau lambat. Begitu juga dengan suami. Dengan mengetahui hak dan kewajiban seorang istri, dia akan bisa menempatkan diri.

Lalu apakah memberi nafkah, pakaian, tempat tinggal adalah hak paling utama seorang istri? Adakah hak lain yang harus ditunaikan seorang suami? Imam Ghazali berkata seorang istri bukan hanya membutuhkan kebutuhan materi semata.

Ia memang memerlukan makan, minum, pakaian dan tempat berteduh. Tapi yang tak kalah pentingnya adalah pemberian kasih sayang, sentuhan yang lembut, wajah ceria dan perkataan yang baik dari suami.

Hal ini didasarkan dari beberapa ayat Alquran utamanya surah an-Nisa. Dalam ayat 19 Allah SWt berfirman "...Dan pergaulilah mereka (istri-istrimu) dengan cara yang makruf.."

Di ayat ke 36 surah yang sama Allah berfirman "..Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak yatim, orang miskin, tetangga dekat, tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya..."

Para ahli tafsir menukil yang dimaksud teman sejawat dalam ayat di atas adalah istri. Jadi, ungkap Imam Ghazali, berbuat baik kepada istri bukan hanya tidak menyakiti mereka tapi juga sabar menerima keluhan mereka. Termasuk santun saat istri sedang marah atau emosi.

Hal ini dicontohkan Rasulullah SAW saat menghadapi Aisyah RA yang sedang dilanda kesal. Rasulullah bersabda. "Sungguh aku tahu saat engkau marah dan saat engkau ridha."

Aisyah berkata, "Bagaimana engkau tahu?" Rasul berkata "Kalau engkau rela, engkau berkata 'Tidak demi Rabb Muhammad' dan bila engkau marah engkau berkata 'Tidak demi Rabb Ibrahim'" Aisyah mejawab "Benar jika marah aku hanya menghindari namamu."

Ibnul Qayyim menjelaskan sikap Rasulullah terhadap istrinya adalah bergaul dan berakhlak yang baik. Beliau SAW tak hanya memenuhi kebutuhan lahir istri namun juga memberikan kebutuhan jiwa dengan bercanda, bermesraan dan memberi perhatian.

Nabi SAW pernah berlomba lari dengan Aisyah, biasa bersandar di pangkuan istrinya sambil membaca Alquran. Minum dari bejana yang sama dengan istrinya.
Syekh Yusuf Qaradhawi berkata syariat tidak melupakan kebutuhan spiritual. Bahkan tujuan berumahtangga dalam Alquran surah ar-Rum ayat 21 adalah mendapatkan ketentraman jiwa. Yang hanya bisa dipenuhi dengan tindakan yang menyentuh jiwa.

Umar bin Khattab yang terkenal keras wataknya berkata, "Seorang laki-laki jika di depan istrinya bersikap manja seperti anak kecil, ketika mencari penghidupan ia bersikap seperti laki-laki sebenarnya."


Gus Yusuf ST: Menggapai Surga Hakiki

Gus Yusuf ST
Gambaran tentang surga tersebar dalam sejumlah ayat dan hadis. Teks ayat dan hadisnya jelas. Jadi, tak ada satu keteranganpun yang meragukan keberadaannya. Semuanya menjelaskan kondisi yang tidak ada bandingannya dengan sesuatupun yang ada di dunia ini.

Menurut Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, ’’Allah SWT berfirman, ‘Sesungguhnya Aku telah menyediakan untuk hamba-Ku yang saleh segala apa yang tidak pernah dilihat mata, didengar telinga, dan tidak pernah terbetik oleh hati siapapun.’’ (HR Bukhari dan Muslim).

Dengan begitu, saat Allah dan Rasul-Nya menyampaikan perumpamaan tentang kondisi surga, semua itu sekadar untuk memudahkan kita memahaminya. Memang, Allah dan Rasul-Nya menyebutkan banyak hal yang bernuansa dunia.

Namun demikian, semuanya itu sejatinya tidaklah sama. Misalnya, Allah memaparkan keadaan surga yang dijanjikan itu di dalamnya terdapat sungai-sungai. Akan tetapi, bukan sungai-sungai sebagaimana yang kita pernah saksikan di dunia.

Dikatakan, ada sungai dari air yang tidak berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamar yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring dan seterusnya (QS Muhammad [47] : 15).

Misalnya, Allah memaparkan keadaan surga yang dijanjikan itu di dalamnya terdapat naungan dari pohon-pohon rindang. Akan tetapi, bukan pohon-pohon yang kita pernah saksikan di dunia. Dikatakan, pohon itu tidak terlalu tinggi dan berbuah sepanjang tahun.

Hal itu memudahkan bagi siapa pun yang hendak memetiknya. Dikatakan pula, fasilitas penghuni surga yang sangat memadai dibandingkan dengan yang kita pernah saksikan di dunia seperti pakaian, makanan, minuman, kamar tidur, dan seterusnya.

Abu Hurairah menuturkan, saat Rasulullah SAW ditanya tentang surga, Rasulullah SAW menjelaskan, surga itu terbuat dari emas, perak, permata lu’lu, yakut, minyak kesturi, dan ja’faran. Kualitasnya sama sekali tidak berubah. (HR Ahmad dan Tirimidzi).

Menurut Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya surga itu terdiri atas 100 tingkatan yang Allah sediakan bagi mereka yang berjihad. Jarak antara satu tingkatan dengan tingkatan lainnya seperti jarak antara langit dan bumi.’’ (HR Bukhari).

Abu Sai’d al-Khudri berkata,  Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya surga itu terdiri atas 100 tingkatan. Seandainya seluruh makhluk di muka bumi berkumpul di salah satu tingkatan, itu sudah cukup menampung mereka semuanya karena luasnya.’’  (HR Ahmad).

Hingga sekarang, entah berapa banyak penulis yang mengungkapkan keistimewaan surga dalam berbagai bahasa. Kendati demikian, saya kira cerita mengenai surga itu tidak akan ada habis-habisnya. Sampai kita benar-benar menyaksikannya dengan mata kepala kita sendiri.

Bagi kita, semua informasi yang disampaikan Allah dan Rasul-Nya sudah lebih dari cukup. Sekarang mari kita jawab pertanyaan berikut ini dengan sejujurnya. Sudahkah kita termasuk di antara orang-orang yang berada dalam antrean calon penghuni surga?

Sejumlah ayat dan hadis menjelaskan kriteria calon penghuni surga. Yakni, orang-orang yang bertakwa, orang-orang yang menafkahkan sebagian harta yang dimilikinya pada waktu lapang mau pun sempit, dan orang-orang yang memaafkan kesalahan manusia.

Selanjutnya, orang-orang yang melakukan perbuatan keji dan menganiaya dirinya sendiri namun segera mengingat Allah dan meminta pengampunan kepada-Nya, tidak terus-menerus melakukan perbuatan dosa setelah dia menyadarinya.

Beriman kepada Allah, shalat dengan khusyuk, menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan tak ada gunanya, mengeluarkan zakat, menjaga kemaluan kecuali kepada istri dan hamba sahaya yang menjadi miliknya, menunaikan amanat, memelihara shalat dan masih banyak yang lainnya. Semoga kita diberi kemudahan untuk dapat menapaki jalan lurus menuju surga. Aamiin.


Gus Cokro ST: Kunci Kebahagiaan Hidup Kita

Gus Cokro ST
Semua manusia pasti menginginkan hidupnya bahagia. Hanya saja tidak semua orang memahami hakekat hidup bahagia. Ada yang memaknainya sekedar hidup senang: sandang, pangan, dan papan berkecukupan.

Ada pula yang mengartikannya hidup damai: bersosial, bekerja sama, tidak menyakiti dan membuat konflik dalam masyarakat. Islam memberikan resep bahagia bukan hanya fid dunya hasanah wa fil akhirati hasanah, tapi juga terbebas dari siksa neraka.
  
Makna bahagia yang terangkum dalam doa sapu jagat itu menunjukkan bahagia itu berdimensi fisik-material dan mental-spiritual-sosial, serta berjangka pendek dan jangka panjang.

Hakekat hidup bahagia, menurut Syaikh Habib Al-Kazhimi, adalah memperoleh ridha Allah SWT dengan memahami dan mewujudkan tujuan penciptaan dan eksistensi manusia di dunia ini, yaitu beribadah kepada-Nya dalam arti luas.
    
Indikator sekaligus kiat-kiat meraih hidup bahagia dapat diukur dan ditempuh dengan lima hal. Pertama, berusaha untuk selalu hidup sesuai tuntunan syariat Islam, tidak menyalahinya baik dalam hidup sebagai individu, bermasyarakat, maupun bernegara. 

Sistem ajaran Islam harus diyakini sebagai way of life yang dapat membahagiakan hidupnya. Tidak ada celah dan ruang dalam diri Muslim untuk meragukan syariat Islam.

"Siapa mencari agama (syariat) selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu), dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi." (QS Ali Imran [3]: 85).
   
Kedua,  ta'allum (belajar), tadabbur (bermenung), dan tafakkur (berpikir). Manusia dikaruniai akal, antara lain untuk belajar agar hidupnya bermakna, bermenung agar dapat selalu berintrospeksi diri, dan berpikir agar dapat menyelesaikan persoalan yang dihadapinya.

Hidup bahagia adalah hidup yang dijalani dengan senantiasa belajar, mengembangkan ilmu, memahami ayat-ayat Allah di dalam Alquran maupun dalam semesta raya.

Dengan semua itu, Muslim tidak hanya meneladani sifat Allah, Al-'Alim (Mahaberilmu), tapi juga memacu dirinya untuk meraih prestasi dan kesuksesan hidup di dunia dan akhirat.
    
Ketiga, cita-cita yang luhur dan mulia. Hidup bahagia harus dilandasi cita-cita yang tinggi, luhur dan mulia, sehingga terpacu untuk meraihnya dengan mengerahkan segala tenaga dan pemikiran.

Muslim yang baik hidupnya senantiasa dijalani dengan penuh perjuangan meraih cita-cita mulia dan visi yang jelas, tidak akan menjalani hidup ini dengan kemalasan dan menggantungkan diri kepada orang lain.

"Janganlah engkau menjadi beban bagi orang lain." (HR At-Thabarani). Sebuah syair Arab menyatakan, "Siapa yang tidak suka mendaki gunung, maka selamanya ia akan berada dalam kubang galian."
   
Keempat, pengendalian syahwat dan penyucian diri dari sifat-sifat tercela. Dalam diri manusia terdapat potensi negatif seperti syahwat menjadi kaya, syahwat menjabat, syahwat menguasai, dan sebagainya.

Dalam diri manusia juga terdapat potensi untuk iri hati, dengki, riya', ujub, rakus, dan sebagainya. Orang yang bahagia adalah orang terbebas dari syahwat dan sifat-sifat tercela, sebab jika terjajah oleh sifat-sifat buruk ini, hidupnya selalu menderita, tidak pernah memperoleh kedamaian hati.
   
Kelima, berada dalam lingkungan yang baik. "Ada empat yang menyebabkan manusia hidup bahagia: istri/suami yang shalih, anak-anak yang berbakti, lingkungan pergaulan yang baik, dan rezki yang diperoleh di negeri sendiri." (HR Ad-Dailami).

Pangkal kebahagiaan seseorang adalah lingkungan rumah tangga yang baik: suami-istri taat kepada Allah, rezki yang dimakan halal dan bergizi, anak-anak yang shalih, dan lingkungan sosial yang bermoral baik.
   
Oleh karena itu, kunci meraih hidup bahagia harus dimulai dari kesucian hati masing-masing individu dalam kehidupan keluarga. Keluarga bahagia pangkal terwujudnya masyarakat dan bangsa yang bahagia. Kekayaan materi tidak menjadi jaminan hidup bahagia. Kunci yang sangat menentukan kebahagiaan hidup adalah kekayaan dan kemurahan hati. Ikhlas, taat, cinta kepada Allah dan Rasul, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.

Selain itu selalu berdzikir kepada-Nya di waktu senang maupun di saat dukacita, menurut Ali bin Abi Thalib, merupakan kekayaan hati yang tidak bisa digantikan oleh kekayaan materi. Kekayaan hati inilah yang membuat hidup ini bahagia.
   
Jadi, hati ini harus senantiasa dididik untuk "merdeka" dari penyakit hati, dirawat dengan nutrisi hati yang sehat, dan dibiasakan mengingat Allah (dzikrullah) dan merenungi kebesaran-Nya di alam raya ini, agar dapat memakanai hidup bahagia di dunia dan akhirat. Semoga!


Gus Cokro ST: Kejujuran adalah Mata Uang yang Berlaku di Mana-mana

 
‘’Hendaklah kalian berlaku jujur, karena kejujuran itu menunjukkan kepada kebaikan, dan kebaikan menunjukkan jalan menuju surga.’’ (HR Bukhari).

Kejujuran adalah mata uang yang berlaku di mana-mana. Demikian sebuah ungkapan bijak menuturkan.

Ya, kejujuran adalah sebuah sikap yang menunjukkan jati diri seseorang yang sebenarnya. Seseorang yang senantiasa bersikap jujur baik dalam ucapan maupun tindakan, meskipun pahit dan berisiko, bisa dipastikan dia memiliki integritas moral yang baik.

Islam sangat menjunjung tinggi kejujuran. Dalam Islam, jujur  menjadi salah satu sifat mutlak seorang Nabi atau Rasul. Orang-orang yang berlaku jujur, dalam Alquran disandingkan dengan para Nabi, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh.

Sebaliknya, kebohongan adalah awal kehancuran. Seseorang yang sudah biasa berbohong, baik dalam ucapan maupun tindakan, pada hakikatnya sedang menjerumuskan dirinya dalam kehinaan. Dia sedang menggali kuburnya sendiri.

Karena kebohongan yang dia lakukan lambat laun pasti akan terbongkar. Ibarat kata, sepandai apa pun seseorang  menyembunyikan bangkai, akhirnya akan tericium juga. Kalau kita lihat dan amati kondisi saat ini, tampaknya kejujuran sudah menjadi barang langka.

Demi menjaga citra diri di hadapan publik dan dengan dalih gengsi, seringkali banyak orang tak jujur kepada dirinya sendiri apalagi kepada orang lain. Mereka lebih senang memakai topeng, daripada menunjukkan wajah aslinya.

Padahal, semakin lama topeng-topeng tersebut mereka kenakan, semakin jauh mereka dari jati diri mereka. Hakikatnya, semakin menyiksa diri mereka sendiri karena harus hidup dalam kepura-puraan.

Orang-orang yang ingin dianggap sebagai orang kaya, misalnya, akan bersikap dan bertindak seolah-olah orang kaya. Semakin dia memaksakan diri mengikuti gaya hidup orang kaya, semakin tersiksa pikiran dan jiwanya.

Karena dia harus berpikir keras untuk dapat memenuhi tuntutan seolah-olah menjadi orang kaya. Para pedagang, yang hanya menjalankan usaha atau bisnisnya dengan tujuan komersial, akan sangat mudah berlaku tidak jujur alias berbohong.

Tidak jarang kita jumpai, mereka berlaku tidak jujur dalam menjalankan roda bisnisnya. Dalam perkataan, mereka bahkan berani bersumpah atas nama Allah untuk meyakinkan pembeli agar tertarik untuk membali barang dagangannya.

Dalam tindakan, ada pedagang yang mengurangi timbangannya dengan beragam cara, dengan tujuan mendapat keuntungan lebih banyak dari kondisi timbangan normal. Para pejabat publik berlaku bohong untuk memenuhi pundi-pundi kekeyaannya.

Para intelektual, demi memenuhi persyaratan angka kredit untuk kenaikan pangkatnya, tidak jarang melakukan perilaku tak terpuji. Mereka melakukan plagiarisme, membuat data fiktif, serta tindak kecurangan lainnya.

Karena itu, berlaku jujurlah baik dalam ucapan dan tindakan. Betapapun pahitnya, yakinlah kejujuran akan lebih dihargai dan mendapat tempat di hati orang lain daripada kebohongan.


Gus Cokro ST: Mari Berjuang Menggapai Ridlo Nya

Ketika belajar di TK dan madrasah dahulu, kita pernah diajari oleh guru kita sebuah bacaan “Radhiitu billahi rabba, wabil Islami dina, wabi Muhammadin nabiyya wa rasula.” Artinya:   “Aku rela (senang) Allah sebagai Rabb (Tuhanku), Islam agamaku dan Muhammad SAW sebagai Nabi dan Utusan-Nya.”

Selain itu, kita juga sering berdoa: “Allhumma inni as’aluka ridhaka wal jannah, wa a’udzu bika min sakhathika wan nar.” Artinya: Ya Allah aku (kami) memohon kepada-Mu akan ridha-Mu dan surga; dan aku (kami) berlindung kepada-Mu dari kemurkaan-Mu dan siksa neraka.

Dalam konteks ini kita patut bertanya kepada diri sendiri: “ Apakah selama ini kita sudah ridha terhadap Allah, Islam dan Nabi Muhammad SAW? Dan mengapa kita perlu memohon ridha Allah?”

Ridha merupakan bentuk mashdar (infinitive), dari radhiya-yardha yang berarti: rela, menerima dengan senang hati, cinta, merasa cukup (qana’ah), berhati lapang.

Bentuk lain dari ridha adalah mardhat dan ridhwan (yang super ridha). Antonim kata ridha adalah shukht atau sakhat, yang berarti murka, benci, marah, tidak senang, dan tidak menerima. 

Ridha adalah engkau berbuat sesuatu yang membuat Allah senang atau ridha, dan Allah meridhai apa yang engkau perbuat. Ridha hamba kepada Allah berarti ia menerima dan tidak membenci apa yang menjadi ketetapan Allah.

Sedangkan ridha Allah kepada hamba berarti Dia melihat dan menyukai hamba-Nya yang menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Ada dua dimensi ridha, yaitu ridha billah dan ridha ‘anillah. Ridha billah atau rela dan cinta kepada Allah berarti bersedia mengimani dan menjadikan-Nya sebagai Dzat yang wajib diibadahi, tidak menyekutukan-Nya, dimintai pertolongan, dan ditaati syariat-Nya.

Sedangkan ridha ‘anillah berarti hamba menerima ketentuan, takdir, rizki, dan segala sesuatu yang ditetapkan oleh-Nya.
Ridha dalam konteks ini tidak berarti hamba menyerah-pasrah tanpa usaha, berdoa dan bertawakkal. Sebaliknya, hamba diharuskan memahami hukum sebab-akibat, berusaha maksimal dan berdoa.

Ridha kepada Allah mengharuskan hamba untuk selalu beriman kepada-Nya, termasuk percaya kepada qadha dan qadar-Nya; mencintai dan menaati syariat-Nya; mencintai Rasul-Nya dan mengikuti keteladananya; menjadikan Islam sebagai agama pilihan hidupnya; dan mengorientasikan hidupnya dengan penuh keikhlasan untuk meraih cinta dan ridha-Nya.

Oleh karena itu, ada tiga kategori ridha yang harus ditapaki hamba. Pertama, ridha bi syar’illah (syariat Allah) berarti menerima dan menjalankan syariat-Nya dengan ikhlas dan penuh dedikasi.

Kedua, ridha bi qadha’illah (ketentuan Allah) berati tidak menolak dan membenci apa yang telah ditetapkan Allah, termasuk segala sesuatu yang tidak menyenangkan (musibah), karena ujian dari Allah merupakan tangga peningkatan derajat iman.

Ketiga, ridha bi rizqillah (rezeki Allah)  berarti menerima dan merasa cukup (qana’ah) terhadap rezeki yang dianugerahkan kepadanya, tidak rakus dan tidak serakah,  meskipun sedikit dan belum mencukupi kebutuhannya.

Dengan demikian, menggapai ridha Allah itu merupakan keharusan bagi setiap Muslim, karena Allah menjadikan ridha itu sebagai syiar kehidupan akhirat. 

Pada hari itu banyak (pula) wajah yang berseri-seri, merasa senang (ridha) karena usahanya (sendiri), (mereka) dalam surga yang tinggi.. (QS. al-Ghasyiyah/88: 8-10). Allah selalu memanggil hamba-Nya yang berhati ridha. “Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya.” (QS. al-Fajr/89: 27-28)

Selain itu, Allah menjadikan ridha itu sebagai salah satu syarat terwujudnya rukun iman. Seseorang tidak disebut beriman manakala tidak ridha terhadap segala ketentuan Allah.
Ridha juga dapat mengantarkan Mukmin menjadi mukhlis, tulus ikhlas karena Allah sehingga amalan-amalannya dapat diterima oleh-Nya.

Ridha juga dapat menjadi obat hati yang dapat menangkal segala penyakit hati, sekaligus dapat membuat hati lapang dan merasa qana’ah terhadap segala pemberian Allah.

Ridha merupakan salah satu faktor yang menyebabkan hidup Muslim menjadi tenang, damai, tenteram, tidak diliputi keresahan dan kegalauan. Ridha merupakan salah satu jalan yang mengantarkan kepada pendekatan diri (taqarrub) kepada Allah.

Dengan ridha, hamba dapat menghiasi dirinya dengan akhlak mulia, menjauhkan diri dari perbuatan tercela dan sia-sia, karena standar ridha kepada Allah itu menuntut hamba untuk selalu taat dan bertaqwa kepada-Nya.

Menggapai ridha Allah senantiasa dilakukan dengan memperoleh ridha kedua orang tua dalam segala hal. Rasulullah Saw bersabda: “Ridha Allah itu tergantung pada ridha kedua orang tua; dan kemurkaan Allah itu juga tergantung pada kemurkaan keduanya.” (HR. Muslim)

Untuk lebih memantapkan usaha kita dalam menggapai ridha-Nya, ada baiknya kita selalu berdoa: "Ya Tuhanku, anugerahkanlah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku mengerjakan kebajikan yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang shaleh.“ (QS. an-Naml/27: 19)
 
 

Gus Cokro ST: Menabung di Dunia dan Akhirat

Gus Cokro ST
Anak (al walad atau al banun) dan harta ( al maal) adalah dua elemen penting dalam kehidupan manusia, yang sering diungkapkan dalam Al Quran dalam satu ayat.

Misalnya firman Allah dalam Surat Al Anfaal (8) ayat 28 : "Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak anak mu itu hanyalah sebagai cobaan. Dan sesungguhnya di sisi Allah terdapat pahala yang sangat besar."  

Hal yang semakna walaupun dalam konteks yang berbeda misalnya kita temukan dalam firman Allah surat Al Kahfi (18) ayat 46, surat Al Munafiquun (63) ayat 9 dan surat At Taghobuun (64) ayat 14 & 15.
    
Para mufassir menyatakan paling tidak terdapat dua pelajaran penting yang bisa diambil kenapa anak dan harta sering dikemukakan dalam satu ayat.

Pertama: Adalah sudah menjadi naluriah dan fitrah setiap manusia untuk mencintai kedua hal ini. Keduanya sudah build in masuk dalam struktur ruhani dan struktur berfikir setiap manusia tanpa harus diajarkan.

Kecintaan kepada keduanya adalah lintas suku, lintas profesi dan keahlian, lintas pendidikan, lintas jenis kelamin, lintas status sosial, bahkan juga lintas kebangsaan dan agama.

Hal ini sebagaimana digambarkan secara jelas dalam Al Quran Surat Ali Imron (3) ayat 14. Bahkan dalam sebuah hadits sahih Rasulullah saw bersabda, "Andaikan seseorang sudah memiliki bongkahan-bongkahan emas yang memenuhi dua lembah pegunungan, pasti ia akan mencari lembah yang ketiganya, dan akan berhenti ketika perutnya sudah menempel ke tanah (mati)."
   
Kedua : Anak dan harta adalah dua variabel utama dan sangat penting yang menjadi penyebab keselamatan dan kecelakaan manusia. Jika anak dididik dengan pendidikan agama dan akhlak yang baik, sehingga menjadi anak sholeh, ia akan menjadi investasi dunia akhirat yang menguntungkan, memberkahkan, menenangkan, sekaligus menjadi penyebab keselamatan kedua orang tuanya.

Sebaliknya jika tidak dididik dengan pendidikan aqidah dan ibadah yang benar serta akhlak yang mulia, kemudian menjadi anak yang durhaka, ia akan menjadi penyebab kecelakaan kedua orang tuanya.

Demikian pula harta, jika didapatkan dengan cara yang benar dan dimanfaatkan untuk kebaikan diri, keluarga maupun masyarakat, menjadi sarana ibadah, ia akan menjadi penyebab kebahagiaan dunia dan akhirat. Sebaliknya jika didapatkan dengan cara yang tidak benar, maka akan mencelakakan dunia dan akhirat.

Berbagai kasus korupsi yang terjadi sekarang ini, hendaknya menyadarkan kita semua, harta yang didapatkan dengan cara yang tidak benar akan menghancurkan kehidupan kita di dunia ini apalagi di akhirat. Demikian pula anak keturunan kita. Wallahu Alam bi Ash Shawab


Gus Cokro ST: Alangkah baiknya orang yang di setiap perkataannya untuk berzikir, diamnya untuk berpikir, dan penglihatannya untuk belajar

Gus Cokro ST
Diceritakan dari buku tafsir milik Ibnu Katsir, seorang sahabat Nabi yaitu Ibnu Abbas mengisahkan, suatu hari datang beberapa orang Quraisy kepada kaum Yahudi dan bertanya,’’Apa yang dibawa Nabi Musa  kepada kalian (mukjizat)?”

Mereka menjawab,’’Tongkatnya serta tangannya yang putih bersinar bagi yang melihat.’’ Lalu mereka mendatangi kaum Nasrani dan bertanya,”Apa yang dibawa Nabi Isa kepada kalian (mukjizat)?’’ Mereka kemudian menjawab, ”Ia mampu menyembuhkan kebutaan, penyakit kusta, dan mampu menghidupkan orang mati.’’

Lalu merekapun mendatangi Nabi Muhammad dan berkata, ”Mintakanlah kepada Tuhanmu supaya Ia mengubah Bukit Shafa menjadi emas.” Nabi Muhammad berdoa kepada Allah akan hal tersebut.

Maka turunlah ayat yang berbunyi, ”Sesungguhnya pada penciptaan bumi dan langit serta pergantian siang dan malam terdapat tanda tanda (kekuasaan Allah) bagi para ulil albab.’’ (QS Ali Imran :190).

Apa maksud diturunkannya ayat ini? Siapa itu ulul albab? Memang sebagai manusia terkadang kita hanya ingin sesuatu yang jelas, nyata, dan praktis. Seperti kafir Quraisy yang meminta  Nabi supaya Allah mengubah Bukit Shafa menjadi bukit emas.

Namun Allah memberikan kunci dalam memahami tanda-tanda kekuasaan-Nya yang ada di dunia ini bagi manusia. Yaitu dengan menjadi ulul albab, yaitu manusia berpikir, yang menggunakan otak serta hatinya dalam memahami tanda kekuasaan-Nya.

Ada sebuah syair Arab terkenal yang berbunyi, ”Apabila manusia memikirkan segala kelakuannya, maka ia akan menyadari pelajaran di dalamnya.’’

Andai saja manusia menyempatkan waktunya untuk berpikir, memikirkan hakikat penciptaan dirinya, dunia seisinya seperti yang sudah dicontohkan di atas yaitu penciptaan langit dan bumi betapa dahsyatnya penciptaan itu.

Lalu pergantian siang dan malam, kenapa matahari selalu terbit dari timur, adakah manusia yang mampu menerbitkannya dari barat?

Nabi Isa pernah berkata, “Alangkah baiknya orang yang di setiap perkataannya untuk berzikir, diamnya untuk berpikir, dan penglihatannya untuk belajar.’’

Pernahkah Anda membayangkan,  ada manusia yang setiap kata dari mulutnya selalu digunakan untuk berzikir, entah untuk dirinya sendiri maupun untuk mengingatkan orang lain, bahkan diamnya pun berguna untuk berpikir?

Orang yang mampu melakukan ini akan menjadikan semua penglihatan dan panca indra lainnya sebagai hikmah dan pelajaran. Jadi, mari saudaraku, kita sempatkan waktu kosong kita atau saat kita diam untuk sejenak berpikir.

Karena, inilah kunci yang dimaksud untuk memahami tanda-tanda kekuasaan Allah selama di dunia dan merupakan pembeda antara kita para Mukmin dan mereka para kaum kafir yang keras kepala dalam menerima bukti-bukti yang datang pada mereka.

Jika sudah, ada satu pesan bagi ikhwah sekalian, ubahlah kata seandainya menjadi semoga diiringi dengan niat yang tulus serta kerja keras niscaya kita akan melihat betapa indahnya dunia ini. Wallahu a’lam.


Gus Cokro ST: Korelasi Antara Dosa dan Bencana

Gus Cokro ST
Sekiranya penduduk negeri ini beriman dan bertakwa, pastilah Kami limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat) kami, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Al-A’raf: 96).

Ayat tersebut memberikan peringatan kepada kita, sekiranya seluruh rakyat negeri ini beriman dan bertaqwa, maka janji Allah di atas pasti akan menjadi kenyataan.

Sayangnya kenyataan di atas belum bisa direalisasikan mengingat masih banyak penduduk negeri ini yang melakukan perbuatan dosa dan maksiat.

Kisah-kisah umat yang terdahulu yang dipaparkan Allah SWT dalam Al-Qur’an, seperti kaum Nabi Nuh As, yang ditenggelamkan melalui hujan yang tiada henti sampai menimbulkan banjir dan menewaskan semua makhluk yang ada, karena mereka mendustakan ajaran Rasulnya.

Lihat pula kaum Tsamud, karena kesombongannya, dengan membusungkan dada mereka menentang datangnya azab, lalu Allah berikan gempa yang dahsyat yang menewaskan mereka.

Lain halnya dengan kaum Madyan, yang suka mengurangi timbangan dan takaran, lalu Allah SWT berikan musibah kepada mereka hingga akhirnya mereka tewas.

Begitu pula dengan kaum ‘Ad, yang dibinasakan oleh Allah SWT dengan meniupkan angin yang sangat panas sekali dikarenakan mereka tidak beriman.
Kaum-kaum terdahulu dihancurkan dan dibinasakan oleh Allah dikarenakan mereka kufur dan banyak melakukan maksiat.

Bagaimana dengan kita saat ini? Apa yang kita alami saat ini? Bukalah mata lebar-lebar, pasang telinga baik-baik. Maksiat terjadi di mana-mana. Pergaulan lawan jenis yang keluar dari norma agama semakin menggila.

Ditambah lagi media masa visual dan non-visual ikut melengkapi ajakan syaitan dengan dalih seni dan hak-hak azazi manusia.
Kecurangan dalam perniagaan, yang terjadi pada kaum Madyan pun,  terjadi sekarang. Kecurangan bukan hanya dalam timbangan secara zhahir, tetapi penindasan dan tipu muslihat.

Wajarlah, jika Allah SWT memberikan berbagai macam bencana kepada kita seperti gempa bumi yang menelan korban dan memaksa manusia mengungsi ke tempat-tempat yang lebih aman.

Belum lagi, bencana banjir yang berulang kali terjadi di beberapa tempat, termasuk di ibu kota Jakarta. Padahal, baru kemarin kita merasakan beratnya kemarau panjang.

Gunung Sinabung belum selesai meletus, yang menyisakan penderitaan yang panjang bagi masyarakat di beberapa tempat, Gunung Kelud meletus dan memuntahkan debu vulkanik hingga mencapai Tasikmalaya dan Ciamis Jawa Barat yang jaraknya lumayan jauh.

Kepanikan pun terjadi di mana-mana. Dan, ketika hujan deras turun di sekitar Gunung Kelud, menambah penderitaan masyarakat. Karena lahar dingin itu mengangkut bebatuan dan segala yang ada turun dari puncak Gunung Kelud.

Tak hanya gempa bumi, gunung meletus, banjir dan longsor. Bencana busung lapar anak manusia negeri ini sering kita dengar, baik melalui televisi dan media lainnya. Aneh, di negeri yang subur ini, bencana busung lapar bisa terjadi.

Korupsi merajalela, mulai tingkat yang paling tinggi sampai yang paling rendah. Jatuhnya nilai rupiah  yang mengakibatkan krisis moneter yang berdampak kemiskinan, pengangguran dan kelaparan, masih kita rasakan sampai saat ini.

Berbagai penyakit aneh dan kotor mulai merebak dan menggerogoti penduduk negeri ini. Bahkan, tak sedikit penyakit yang belum ada obat penawarnya sampai saat ini.

Yang paling mengkhawatirkan, hancurnya moral generasi muda penerus bangsa, disebabkan terhanyut dan tenggelam bersama obat-obat setan yang terlarang.

Apakah azab telah mengintai negeri ini? Jawabannya ada dalam diri kita masing-masing. Akankah semua kita  mengalami nasib seperti kaum Nabi Nuh? Atau seperti kaum Tsamud? kaum Madyan dan kaum ‘Ad?

Mari kita renungkan bersama. Mari kita kembali ke jalan yang benar, mengamalkan ajaran agama Allah, mencintai sunnah Rasulullah SAW dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar serta tidak membiarkan kemaksiatan di sekeliling kita. Semoga Allah SWT memberikan ampunan kepada kita semua.

Gus Cokro ST: Kolaborasi Penting Antara Ulama dan Umaro'

Gus Cokro & Para Ulama di Ponpes Lirboyo
Kebaikan manusia di suatu negeri bergantung pada kesalehan para ulama dan keadilan umara (penguasa). Kerusakan mereka juga bergantung pada kerusakan para ulama dan keculasan umaranya. Pernyataan ini didasari oleh sabda Rasulullah.

Dua golongan manusia, jika mereka baik, akan baik seluruh manusia, dan jika ia rusak, akan rusak seluruh manusia. Mereka adalah para ulama dan umara.” (HR Ibnu Nu'aim dalam Hilyatul Auliya).

Golongan pertama, yakni para ulama. Ulama adalah pewaris para nabi dan penyambung lidah mereka. Seperti dimaklumi, para nabi tidak mewariskan harta benda berupa emas, perak, perniagaan, dan sawah ladang.

Mereka semua mewariskan ilmu. Ilmu itulah yang ditransmisikan dari masa ke masa kepada ahli ilmu, yaitu ulama. Ulama yang saleh, yaitu yang ucapannya sesuai dengan perilakunya. Akhlaknya pun mulia. Ia senantiasa berkata benar meskipun kepada dirinya sendiri.

Dakwahnya mengajak kepada amar makruf dan nahi mungkar. Ia tidak canggung memberi nasihat dan peringatan, termasuk kepada penguasa sekalipun. Ia sambangi mereka dengan membawa oleh-oleh nasihat.

Ia selamatkan para umara dari bahaya kefasikan dan mengarahkannya pada kebaikan. Inilah potret ulama yang berpengaruh pada standardisasi kebaikan manusia.
Ulama yang rusak adalah ulama yang ilmunya digunakan untuk membeli dunia. Ucapannya sangat kontras dengan perilakunya. Ia pandai menilai orang, tetapi tidak jujur terhadap diri sendiri.
Ia dekati penguasa demi harta dan penghargaan. Ia biarkan penguasa itu tetap dalam kezalimannya. Ia akan berfatwa ke mana angin bertiup.

Dalam istilah Imam Al-Ghazali, dialah ulama su' (ulama buruk) yang menjual akhiratnya untuk dunianya. Ulama semacam ini merupakan malapetaka bagi bangsa dan agama.

Golongan kedua, yakni umara atau penguasa. Umara adalah pemegang amanah Tuhan untuk mengurus kehidupan rakyatnya.
Hidup matinya rakyat tergantung pada kebijakan dan keputusannya. Di tangannya pula ditegakkan hukum dan peraturan demi ketenteraman umum.

Umara yang saleh, yaitu umara yang adil, amanah, dan bertakwa kepada Tuhannya. Ia bekerja di siang hari untuk kepentingan rakyatnya.
Pada malam hari ia bermunajat kepada Tuhannya dan menyerahkan beban kekuasaan itu kepada-Nya untuk dimudahkan.

Umara yang saleh menganggap rakyatnya merupakan keluarga besarnya. Yang lebih tua bagaikan orang tuanya dan lebih muda adalah anaknya. Yang sebaya dianggap saudaranya. Umara semacam ini jaminan kesejahteraan bagi rakyatnya, lahir dan batin.

Umara perusak adalah umara bermental penguasa. Segala hal seolah berada dalam kontrol dan kekuasaannya. Tidak ada beban dalam dirinya menyejahterakan rakyatnya. Sebaliknya, rakyat dibebani untuk menyejahterakan dirinya.

Penguasa model demikian akan membungkam setiap mulut, membelenggu pena-pena, dan menghukum berdasarkan dugaan. Penjara akan dibuka lebar-lebar untuk menakuti rakyatnya.