Gus Cokro Familly |
Lagi, persoalan tentang manakah yang harus didahulukan, antara kewajiban
terhadap suami ataukah menaati orang tua. Bagi seorang perempuan yang
telah bersuami, pertanyaan ini kerap membuat bingung.
Syekh Yusuf al-Qaradhawi dalam kumpulan fatwanya yang terangkum di Fatawa Mu'ashirah bahwa memang benar taat kepada orang tua bagi seorang perempuan hukumnya wajib.
Tetapi, kewajiban tersebut dibatasi selama yang bersangkutan belum menikah. Bila sudah berkeluarga, seorang istri diharuskan lebih mengutamakan taat kepada suami. Selama ketaatan itu masih berada di koridor syariat dan tak melanggar perintah agama.
Oleh karena itu, imbuh Syekh Yusuf, kedua orang tua tidak diperkenankan mengintervensi kehidupan rumah tangga putrinya. Termasuk, memberikan perintah apa pun kepadanya. Bila hal itu terjadi, merupakan kesalahan besar.
Setelah menikah, saat itu juga anaknya telah memasuki babak baru, bukan lagi di bawah tanggungan orang tua, melainkan menjadi tanggung jawab suami. Allah SWT berfirman, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita) (QS an-Nisaa’ [4]: 34).
Meski demikian, kewajiban menaati suami bukan berarti harus memutus tali silaturahim dengan orang tua atau mendurhakai mereka. Seorang suami dituntut mampu menjaga hubungan baik antara istri dan keluarganya. Ikhtiar itu kini—dengan kemajuan teknologi—bisa diupayakan sangat mudah. Menyambung komunikasi dan hubungan istri dengan keluarga bisa lewat telepon, misalnya.
Al-Qaradhawi menambahkan, di antara hikmah di balik kemandirian sebuah rumah tangga ialah meneruskan estafet garis keturunan. Artinya, keluarga dibentuk sebagai satu kesatuan yang utuh tanpa ada intervensi pihak luar.
Bila selalu ada campur tangan, laju keluarga itu akan tersendat. Sekaligus, menghubungkan dua keluarga besar dari ikatan pernikahan. Allah SWT berfirman, “Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Mahakuasa.” (QS al-Furqan [25]: 54).
Ia menyebutkan beberapa hadis lain yang menguatkan tentang pentingnya mendahulukan ketaatan istri kepada suami dibandingkan orang tua. Di antara hadis tersebut, yakni hadis yang diriwayatkan al-Hakim dan ditashih al-Bazzar.
Konon, Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah, hak siapakah yang harus diutamakan oleh istri? Rasulullah menjawab, “(hak) Suaminya.” Lalu, Aisyah kembali bertanya, sedangkan bagi suami hak siapakah yang lebih utama?” Beliau menjawab, “(Hak) Ibunya.”
Syekh Kamil Muhammad Uwaidah dalam kitab Al-Jami’ fi Fiqh an-Nisaa’ mengatakan, seorang perempuan, sebagaimana laki-laki, mempunyai kewajiban sama berbakti terhadap orang tua. Hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah RA menguatkan hal itu.
Penghormatan terhadap ibu dan ayah sangat ditekankan oleh Rasulullah. Mengomentari hadis tersebut, Imam Nawawi mengatakan, hadis yang disepakati kesahihannya itu memerintahkan agar senantiasa berbuat baik kepada kaum kerabat. Dan, yang paling berhak mendapatkannya adalah ibu lalu bapak. Kemudian, disusul kerabat lainnya.
Syekh Yusuf al-Qaradhawi dalam kumpulan fatwanya yang terangkum di Fatawa Mu'ashirah bahwa memang benar taat kepada orang tua bagi seorang perempuan hukumnya wajib.
Tetapi, kewajiban tersebut dibatasi selama yang bersangkutan belum menikah. Bila sudah berkeluarga, seorang istri diharuskan lebih mengutamakan taat kepada suami. Selama ketaatan itu masih berada di koridor syariat dan tak melanggar perintah agama.
Oleh karena itu, imbuh Syekh Yusuf, kedua orang tua tidak diperkenankan mengintervensi kehidupan rumah tangga putrinya. Termasuk, memberikan perintah apa pun kepadanya. Bila hal itu terjadi, merupakan kesalahan besar.
Setelah menikah, saat itu juga anaknya telah memasuki babak baru, bukan lagi di bawah tanggungan orang tua, melainkan menjadi tanggung jawab suami. Allah SWT berfirman, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita) (QS an-Nisaa’ [4]: 34).
Meski demikian, kewajiban menaati suami bukan berarti harus memutus tali silaturahim dengan orang tua atau mendurhakai mereka. Seorang suami dituntut mampu menjaga hubungan baik antara istri dan keluarganya. Ikhtiar itu kini—dengan kemajuan teknologi—bisa diupayakan sangat mudah. Menyambung komunikasi dan hubungan istri dengan keluarga bisa lewat telepon, misalnya.
Al-Qaradhawi menambahkan, di antara hikmah di balik kemandirian sebuah rumah tangga ialah meneruskan estafet garis keturunan. Artinya, keluarga dibentuk sebagai satu kesatuan yang utuh tanpa ada intervensi pihak luar.
Bila selalu ada campur tangan, laju keluarga itu akan tersendat. Sekaligus, menghubungkan dua keluarga besar dari ikatan pernikahan. Allah SWT berfirman, “Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Mahakuasa.” (QS al-Furqan [25]: 54).
Ia menyebutkan beberapa hadis lain yang menguatkan tentang pentingnya mendahulukan ketaatan istri kepada suami dibandingkan orang tua. Di antara hadis tersebut, yakni hadis yang diriwayatkan al-Hakim dan ditashih al-Bazzar.
Konon, Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah, hak siapakah yang harus diutamakan oleh istri? Rasulullah menjawab, “(hak) Suaminya.” Lalu, Aisyah kembali bertanya, sedangkan bagi suami hak siapakah yang lebih utama?” Beliau menjawab, “(Hak) Ibunya.”
Syekh Kamil Muhammad Uwaidah dalam kitab Al-Jami’ fi Fiqh an-Nisaa’ mengatakan, seorang perempuan, sebagaimana laki-laki, mempunyai kewajiban sama berbakti terhadap orang tua. Hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah RA menguatkan hal itu.
Penghormatan terhadap ibu dan ayah sangat ditekankan oleh Rasulullah. Mengomentari hadis tersebut, Imam Nawawi mengatakan, hadis yang disepakati kesahihannya itu memerintahkan agar senantiasa berbuat baik kepada kaum kerabat. Dan, yang paling berhak mendapatkannya adalah ibu lalu bapak. Kemudian, disusul kerabat lainnya.